![]() |
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, telah menjadi fondasi komunikasi di negeri ini selama ratusan tahun. Ia bukan hanya alat tukar pikiran, tetapi juga cermin budaya, sejarah, dan rasa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang indah dan kaya. Akan tetapi, di tengah pujian terhadap keluasannya, kita juga mesti jujur: sebagian besar dari kekayaan itu tidak benar-benar terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Banyak kata, ungkapan, dan gaya bahasa yang terasa tidak praktis, tidak umum, bahkan dianggap “berlebihan” atau “terlalu puitis” oleh masyarakat, terutama oleh generasi muda.
Sementara itu, bahasa Indonesia tidak hidup sendirian. Ia harus berbagi ruang dan bersaing dengan bahasa-bahasa lain: bahasa Inggris yang mendominasi komunikasi internasional, bahasa gaul yang akrab di telinga anak muda, dan bahasa daerah yang kuat di akar budaya lokal. Dalam lanskap linguistik yang semakin padat ini, bagian-bagian dari bahasa Indonesia yang tidak praktis tadi menjadi yang paling rentan terlupakan. Mereka tidak hilang dari kamus, tetapi menghilang dari percakapan. Tidak punah secara teknis, tetapi sepi dari pemakaian.
Bahasa Indonesia: Kaya, tetapi Tidak Selalu Terpakai
Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki tempat di kehidupan nyata masyarakat. Kata-kata seperti sukma, riuh, senandung, rengkuh, sayup, gemulai, sunyi, atau benam mungkin indah secara bunyi dan dalam secara makna, tetapi tidak lazim muncul di percakapan harian. Ketika seseorang berkata “hatiku riuh dalam senyap,” ia bisa saja dianggap berlebihan atau tidak membumi. Padahal, kata-kata seperti itu justru membawa keindahan dan lapisan rasa.
Sayangnya, jika tidak digunakan, bahasa lama-lama menjadi asing, bahkan bagi penuturnya sendiri. Kata-kata yang dahulu hidup dalam syair, cerpen, atau dialog film kini tenggelam oleh istilah populer yang lebih cepat, lebih pendek, dan lebih viral. Di media sosial, anak muda lebih akrab dengan “vibes-nya sedih banget,” daripada “rasa sunyi menyusup perlahan.” Dari segi komunikasi, tentu tidak ada yang salah. Namun, dari segi keberlangsungan bahasa, ini menjadi tanda peringatan.
Sastra Remaja: Jalan Masuk yang Tidak Menggurui
Meski begitu, bukan berarti kita tak memiliki harapan. Bahasa yang terasa “tidak praktis” itu masih bisa dijaga dan dilestarikan melalui jalur yang lebih dekat dengan dunia remaja: puisi, cerpen, novel, dan tulisan-tulisan fiksi yang lahir dari proses kreatif mereka. Karya sastra menjadi medium yang alami untuk memakai kata-kata yang tidak biasa tanpa membuatnya terasa dipaksakan. Justru dalam puisi, kata seperti rengkuh terasa jauh lebih kuat dibanding peluk. Dalam cerpen, senandung sepi bisa menjelaskan suasana lebih baik daripada sekadar diam.
Remaja masa kini tidak sedikit yang senang menulis puisi galau, cerita pendek tentang cinta, kisah patah hati, atau drama kehidupan sehari-hari. Media sosial, blog pribadi, dan platform menulis digital seperti Wattpad memberi ruang untuk itu. Maka, memperkenalkan kembali bahasa Indonesia yang jarang dipakai ke dunia remaja bukan berarti menyuruh mereka memakai bahasa baku saat mengobrol, tetapi mendorong mereka untuk memakai bahasa yang lebih kaya saat menulis dan berkarya.
Penyair dan Penulis: Penjaga Bahasa yang Tak Terawat
Di balik upaya pelestarian ini, ada satu kelompok yang perannya sangat penting tetapi sering luput dari perhatian: para penyair dan penulis fiksi. Mereka adalah orang-orang yang secara sadar memilih untuk terus memakai bahasa Indonesia yang kaya dan penuh rasa, bahkan ketika lingkungan sekitarnya semakin pragmatis. Namun, ironisnya, kehidupan mereka justru sering kali sulit. Penyair yang menjaga bahasa Indonesia tetap bernyawa, kerap hidup dengan pendapatan yang tak menentu. Menulis puisi, menghidupkan bahasa, menyusun narasi—semua itu tidak selalu mendapat imbalan yang layak.
Ada penyair yang hanya dikenal namanya di buku pelajaran, tetapi harus bekerja sambilan di luar dunia tulis-menulis demi bertahan hidup. Ada juga penulis muda yang punya karya bagus, tetapi sulit berkembang karena kurang dukungan. Padahal, mereka adalah penjaga kata. Mereka merawat bahasa yang nyaris punah bukan dengan laboratorium, tetapi dengan imajinasi dan karya.
Bila bahasa yang tidak praktis tetap ingin bertahan, maka keberadaan mereka tidak boleh dianggap sekadar hiasan budaya. Mereka perlu ruang, perhatian, dan dukungan nyata.
Solusi Praktis: Sisipkan Bahasa ke dalam Pendidikan
Salah satu cara paling realistis untuk menjaga agar bahasa Indonesia yang jarang dipakai itu tetap hidup adalah dengan menyisipkannya secara pelan-pelan ke dalam pembelajaran di sekolah. Tidak harus menjadi beban atau bahan ujian yang membosankan. Bisa melalui tugas-tugas kreatif seperti menulis puisi, cerpen, atau jurnal pribadi.
Contohnya, dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia, setiap bab dapat menyertakan lima kosakata yang jarang digunakan. Siswa tidak hanya diminta menghafal, tetapi juga menuliskan puisi atau cerita pendek dengan kata-kata tersebut. Kata seperti kelam, benam, sukma, resah, atau sunyi bisa menjadi bahan refleksi. Bahkan, bisa dibebaskan untuk digunakan dalam cerita cinta, cerita fantasi, atau kisah persahabatan remaja.
Selain itu, bisa juga dilakukan pelatihan atau lokakarya menulis di sekolah-sekolah yang melibatkan penyair dan penulis lokal. Bukan hanya memberi panggung pada mereka, tetapi juga menjembatani pertemuan antara bahasa yang kaya dengan generasi yang akan mewarisinya.
Menyemai Bahasa, Menanam Masa Depan
Menyelamatkan “bahasa Indonesia yang tidak praktis” bukan perkara menghidupkan kembali sesuatu yang usang. Ini adalah soal memberi tempat pada rasa, makna, dan warisan yang mungkin tak lagi terasa penting di tengah dunia yang serba cepat. Kita tidak bisa berharap semua orang berbicara dengan gaya bahasa puitis. Namun, kita bisa memberi ruang bagi bahasa itu tetap ada—di puisi, di cerita, di hati mereka yang menuliskannya.
Remaja adalah masa ketika seseorang paling mudah menyerap, mencari identitas, dan berekspresi. Jika pada usia tersebut mereka dikenalkan dengan bahasa yang lebih dalam dan kaya, besar kemungkinan bahasa itu akan mereka bawa terus hingga dewasa. Dengan cara demikian, bahasa Indonesia yang hari ini mulai terasa asing bisa tetap tumbuh, berkembang, dan relevan.
Karena pada akhirnya, yang membuat bahasa bertahan bukan hanya struktur atau aturan, tetapi cinta. Sementara cinta pada bahasa tidak lahir dari hafalan, melainkan dari pengalaman menggunakannya untuk berkata-kata tentang hal yang paling manusiawi: perasaan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.