02 Desember 2025

Menjadi Tegas Tanpa Kehilangan Kualitas

Seorang wanita bersikap tegas di kantor
Bersikap tegas

Banyak orang meyakini bahwa pria adalah makhluk pemikir (logis) sedangkan wanita adalah makhluk perasa (lebih mengedepankan emosinya). Keyakinan ini kemudian membuat sebagian pria menyelewengkan penafsirannya dengan menyamakan dominan perasaan sebagai bodoh dan mudah ditipu. Dalam kondisi-kondisi tertentu, ketika terdapat hal-hal yang mengancam ego pria (misalnya perbedaan pendapat atau konflik), akhirnya sering disinggung-singgung oleh mereka, “Ah, kamu itu siapa sih. Makhluk yang lemah akalnya. Tahu apa kamu? Kami ini makhluk pemikir dan kami ini imam, kamu makmum. Kamu tinggal mengikuti saja.”

 

Jadi, keyakinan bahwa wanita itu dominan perasaan seringkali dijadikan alat untuk membungkam dan mengolok-olok wanita, seolah para wanita tidak boleh memiliki pendapat, pikiran, dan aspirasi sendiri.

 

Wanita dididik tidak boleh vokal, tidak boleh marah, dan tidak boleh tampak kuat. Jika pria marah itu dibolehkan, dianggap wajar, pemberani, kuat, macho, laki banget, dan perkasa; sedangkan jika wanita vokal atau marah itu dianggap kasar, judes, dan tidak sepantasnya.

 

Akan tetapi, tidak dibolehkannya wanita untuk menjadi vokal dan marah ini kemudian menjadikan dirinya menjadi kurang/tidak asertif, cenderung penurut (sulit menegakkan boundaries), dan rawan untuk menjadi korban kekerasan. Mereka menjadi sulit untuk bersuara, menolak kejahatan, marah jika ditindas/dizalimi, maupun untuk membela/melindungi dirinya sendiri dari bahaya serta ketidakadilan. Selain itu, mereka bisa membenci dirinya sendiri, malu, mengalami low self-worth, depresi, menarik diri, membahayakan diri sendiri, mengalami obesitas, atau mengalami gangguan fisik dan mental karena tidak bisa mengekspresikan marahnya dengan bebas dan benar. 

 

Berbagai ekspresi emosi pada wanita
Wanita boleh memiliki segala emosi

 

Mengutip pernyataan dari Deborah Tannen dalam bukunya Talking from 9 to 5, Josh Bernoff memuat dalam bukunya yang berjudul Writing without Bullshit, bahwa dalam dunia kerja pun demikian, wanita juga tidak bisa vokal karena jika vokal mereka akan dianggap bermusuhan. Sudah umum bagi wanita, terutama mereka yang baru mulai di dunia kerja untuk meminta maaf atau melunakkan perkataannya jika berpendapat padahal pria-pria malah berbicara dengan sombong dan menantang atau menyela orang-orang di sekitarnya. Jadi, bukan hanya rasa takut yang harus dihadapi oleh seorang wanita yang mengekspresikan dirinya. Ini adalah tekanan sosial untuk memuluskan segalanya dan bergaul dengan orang-orang. Wanita secara tidak adil mendapatkan tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala sesuatu dan semua orang baik-baik saja. Secara pribadi, ini mengarah pada permintaan maaf, pernyataan yang dilindungi (dihalus-haluskan/sering minta maaf yang tidak perlu), dan opini valid yang tidak dinyatakan (menyembunyikan opininya). Wanita memang terbiasa diperlakukan berbeda dari pria, termasuk ketika masih muda, orangtua dan guru cenderung menghargai perilaku yang lebih hormat, bahkan ketika mereka mendorong dan menoleransi anak laki-laki yang berbicara dan menyela.

 

Telah banyak bukti bahwa para wanita korban kekerasan (termasuk remaja wanita) itu biasanya punya riwayat kekerasan di dalam keluarganya/pada masa lalunya pada saat dia masih kecil, misalnya ada belief merusak yang ditanamkan oleh orangtuanya padanya/perlakuan buruk yang diterapkan padanya yang membuat wanita tersebut merasa kekasaran yang dilakukan oleh pacarnya itu familiar/wajar. Dia tidak bisa/bersedia marah/menolak karena takut dicap jahat, kasar, egois, bukan wanita yang baik, dan sebagainya; yang intinya takut tidak disukai/diterima oleh orang lain.

 

Ketika wanita dilarang untuk tegas, vokal, atau marah dengan direspon negatif secara implisit atau terang-terangan, mereka kemudian mungkin akan menekan perasaan tersebut lalu menumpulkannya (menjadi numb/hampa) karena upayanya sia-sia. Itu karena kehampaan/mati rasa terjadi karena banjir emosi pada satu waktu atau keputusan untuk tidak merasakannya seiring waktu.

 

Di dalam buku Numb karya Kay Gackle disebutkan banyak orang terlalu keras pada dirinya sendiri. Mereka bisa berempati pada orang lain tetapi mengecilkan masalah dirinya sendiri. Saat mereka mengecilkan masalahnya, mereka mulai menutup perasaan apa pun yang terkait dengannya karena itu tidak berfungsi, berubah, atau menjadi lebih baik.

 

Masalahnya, orang yang tidak bersedia/tidak mampu merasakan emosi-emosi yang berat (anger, sadness) juga tidak akan mampu merasakan emosi-emosi yang baik (joy, excitement). Spektrum perasaan kita menjadi lebih kecil secara signifikan. Perasaan deep sadness mungkin akan pergi, tetapi perasaan deep joy juga akan demikian.  

 

Di situlah pentingnya wanita dan pria untuk dibolehkan memiliki semua jenis emosi dan mengekspresikannya secara sehat, serta dididik secara khusus untuk tujuan tersebut. 

 

seorang pria muda duduk bersedih di pinggir jalan
Seorang pria boleh bersedih dan menangis

 

Kita tak perlu malu untuk memiliki, menerima, atau mengekspresikan emosi apa pun. Bahkan, memang emosi harus diperlakukan demikian, karena jika tidak emosi tadi bisa mewujud ke dalam hal lain yang bersifat negatif/merusak, misalnya suka belanja berlebihan (over belanja), gila kerja (workaholic), kecanduan sesuatu, emosi yang keluar menjadi bom waktu, makan berlebihan/malas makan, marah kepada dirinya sendiri (karena tidak bisa melampiaskan marahnya kepada orang lain), menjadi depresi, berjuang dengan rasa bersalah dan rasa malu, mer*kok, kebut-kebutan, memicu pertengkaran, mengalami berbagai gangguan fisik dan mental, atau bahkan mematirasakan perasaannya dan tidak mampu mengakses kemarahan dan rasa sakitnya dari masa lalu. 

 

Biasanya, orang terburu-buru mengaitkan emosi dengan sesuatu yang negatif, padahal itu tidak benar. Yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum adalah terdapat setidaknya 3 emosi utama, yaitu marah, sedih, dan bahagia. Marah yang benar dan sehat dan cepat selesai disebut mad, sedangkan yang berlebihan/berkepanjangan/tidak sehat disebut anger; sementara sedih yang sehat disebut sad, sedangkan sedih yang tidak sehat disebut depressed. Untuk emosi bahagia hanya ada satu istilah yaitu glad. Ini yang harus diketahui orang bahwa tidak apa-apa marah yang berupa mad itu dan sedih yang berupa sad itu. 

 

 Dengan kita mengizinkan wanita untuk memiliki perasaan dan emosi apa pun dan mengekspresikannya secara sehat, harapannya mereka bisa lebih sehat secara fisik dan mental dan energi yang terkandung di dalam emosi-emosi tersebut dapat tersalurkan/terekspresikan ke dalam hal-hal yang positif. Tak hanya itu, mengizinkan mereka untuk merasakan dan mengekspresikan emosi yang tersembunyi dari masa lalu juga akan membantunya untuk pulih dari luka-luka masa lalu. Selain itu, wanita juga tidak hanya bisa diam menerima segala perkataan, perlakuan, dan keputusan pria tanpa bisa menolak, marah, atau berbuat hal asertif lainnya. Kemarahan dan ketegasan wanita tidak membuat wanita kehilangan perasaan atau sisi kewanitaannya. Bahkan, dengan menjadi lebih tegas wanita akan menjadi lebih berkualitas. Oleh karena itu, mari kita dukung sesama wanita untuk bisa mewujudkan hal tersebut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.