Rumah besar
Sebuah
rumah membawa pikiranku berkelana. Rumah besar berpenghuni sedikit, dan jarang
dihuni. Maksudnya, waktu untuk di luar rumah termasuk panjang.
Saat
ini, rumah di mana-mana tampak seolah bermegah-megahan. Orang Jawa bilang jor-joran.
Tapi aku tidak membahas jor-joran-nya, hanya tentang ukurannya. Nggak
di kota nggak di desa, rumah-rumah itu banyak yang besar. Kadang
terlihat berlebihan bila dibandingkan dengan jumlah penghuninya.
Di
saat ada rumah kecil atau ruangan kecil dihuni banyak orang, ada pula rumah
besar yang ”ngglondhang” (tidak terlalu terisi). Beberapa di antaranya
tingkat/memiliki loteng.
Setelah
masa demi masa berlalu, penghuninya (orangtua yang memiliki) pun menua. Banyak
yang mengeluhkan lututnya sakit, ada juga yang mengeluhkan napas yang sudah
tidak kuat untuk naik ke loteng, atau semacamnya. Di sisi lain, rumah yang “kosong”
menjadi semakin kosong dengan berpindahnya anak-anaknya karena menikah. Hanya
pada momen-momen yang sangat jarang anak, cucu, dan atau keluarga besarnya
berkumpul dan membuat penuh rumah tersebut.
Kondisi
seolah menjadi semakin tragis dengan datangnya masa pensiun. Masa transisi
kehidupan ini sering gagal dilewati oleh sebagian orang. Ditambah bila
pasangannya meninggal, semakin kosonglah rumah itu.
Aku
sering berpikir, banyak orang sebenarnya nggak membutuhkan rumah sebesar itu. Apalagi
lahan terbatas dan jumlah penduduk semakin banyak. Tetapi nyatanya orang-orang itu
membuat rumah besar dan sangat besar. Malah berlomba besar-besaran. Kadang kasihan
melihat masa peralihan mereka, ketika mengalami kondisi seperti di atas.
Rumah
oh rumah. Besar atau kecil ukurannya menyimpan kisahnya sendiri-sendiri.
Sumber
gambar: http://dezeng.blogspot.co.id