Duet
maut dari penyanyi dangdut mungkin disukai masyarakat, begitu pula dengan duet
maut dari capres dan cawapres yang kompeten dan berakhlak baik. Namun bagaimana
jika duet maut ini terjadi antara infeksi TB dan HIV? Wihh...pasti serem
jadinya!
Membayangkan
bertemunya Mycobacterium tuberculosis
penyebab TB dengan virus HIV penyebab AIDS pasti membuat kita bergidik. Yang
satu merupakan penyakit mematikan, satunya lagi merupakan penyakit yang membuat
sistem kekebalan tubuh menurun. Sebenarnya kedua infeksi ini berdiri sendiri,
tidak akan terjadi duet maut/koinfeksi/infeksi bersamaan jika penderita TB
tidak tertular virus HIV, atau sebaliknya penderita AIDS tidak tertular bakteri
TB.
Infeksi TB
Kondisi
TB ada 2, yaitu infeksi TB laten dan penyakit TB aktif. Keduanya disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis,
hanya saja pada kondisi laten bakteri tersebut belum aktif. Pada penyakit TB
aktif bakteri tersebut sudah aktif sehingga menyebabkan demam, penurunan berat
badan, kehilangan nafsu makan, menggigil, batuk berkepanjangan selama 3 minggu
atau lebih/batuk darah, berkeringat di malam hari, nyeri dada, serta
gejala-gejala lain tergantung pada daerah yang diserang oleh bakteri itu (paru-paru,
kelenjar getah bening, otak, ginjal, tulang, atau lainnya). Selain itu
penderita penyakit TB aktif bisa
menularkan penyakit TB pada orang lain. Jika sudah terkena penyakit ini tubuh bisa
rusak secara permanen dan berujung kematian. Ada berbagai cara penularan TB, di
antaranya melalui meludah, batuk, bersin, tertawa, menyanyi, dan berbicara.
Infeksi HIV
HIV
( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus yang masuk ke tubuh dan menyerang
sistem kekebalan tubuh. Virus ini menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Jika kekebalan tubuhnya lemah maka orang tersebut tentu mudah
terserang penyakit, termasuk penyakit TB. HIV dapat menular melalui hubungan
seksual (vaginal, oral, atau anal) tanpa kondom; kehamilan, melahirkan, dan
menyusui; darah dan cairan tubuh (berbagi pisau cukur, sikat gigi, jarum
suntik, menyentuh luka yang terbuka, dan lain-lain).
Koinfeksi TB dan HIV (duet maut)
Bertemunya
TB dan HIV dapat berujung pada kematian jika tidak segera mendapat penanganan
yang tepat. Kematian ini seringkali disebabkan karena infeksi TB-nya, dan bukan
karena HIV-nya. Duet ini saling menguntungkan bagi kedua penyakit tersebut, di
mana orang dengan HIV 30 kali lebih berpotensi terjangkit TB sedangkan bakteri
TB dapat mempercepat perkembangan infeksi HIV sehingga pasien sakit lebih
cepat.
Koinfeksi
TB dan HIV dapat terjadi pada berbagai kondisi TB dan berbagai tahapan HIV. TB
laten pun ketika bertemu dengan HIV bisa berkembang menjadi TB aktif, sebaliknya
orang yang hidup dengan infeksi HIV atau AIDS berisiko lebih tinggi untuk
meninggal akibat MDR-TB dan XDR-TB, yaitu 2 jenis TB yang lebih berbahaya.
Tes TB, HIV, dan TB-HIV
Orang-orang
dengan kondisi fisik lemah rentan terkena TB maupun HIV. Golongan itu antara
lain anak-anak, orang sakit, ibu hamil, dan sebagainya. Untuk menguji terjadi
atau tidaknya koinfeksi maka penderita HIV harus dites untuk infeksi TB,
sedangkan penderita TB harus dites untuk infeksi HIV.
Tes
untuk HIV dilakukan maksimal 6 bulan sekali. Jika tes darah ini positif maka
Anda harus melakukan tes berikutnya yaitu tes CD4 (jenis sel kekebalan tubuh) untuk
melihat perlu tidaknya Anda diterapi ART. Selain itu Anda harus segera
melakukan tes kulit tuberkulin (TST). Pada tes ini sedikit cairan yang
mengandung protein TB disuntikkan di bawah kulit lengan. Jika setelah 2-3 hari
Anda area tersebut membengkak itu tandanya Anda terinfeksi kuman TB. Namun pada
beberapa orang hasil TST bisa negatif, karena sistem kekebalan tubuh penderita
AIDS tidak bekerja dengan baik.
Alternatif
lainnya adalah tes darah yang disebut TB Quantiferon Emas (QFT-G). Baik TST maupun
QFT-G hanya mendeteksi adanya kuman TB pada penderita, tanpa bisa membedakan
apakah TB itu laten atau aktif. Kedua tes ini terkadang masih membutuhkan tes
lanjutan, karena hasil bisa negatif padahal Anda terinfeksi. Hal itu terjadi
jika Anda baru saja terinfeksi TB atau jika sistem kekebalan tubuh sangat
rusak. Tes lanjutan yang dimaksud meliputi foto rontgen dada, tes pap TB, tes
BTA (basil tahan asam), serta tes pada bayi yang dilahirkan ketika usianya 9-12
bulan. Seringkali tes BTA pun negatif bagi penderita HIV. Sehingga diuji lagi
dengan bronkoskopi, lavage bronchoalveolar, dan biopsi transbronchial.
Untuk
menguji TB ada beberapa tes yang bisa dilakukan:
· Amplified
Mycobacterium Tuberculosis Tes
Langsung (MTD, Gen-Probe ), untuk digunakan dalam spesimen pernafasan dari
pasien yang belum pernah diobati untuk TB. Tes ini dapat digunakan baik untuk
BTA positif maupun negatif.
· Xpert
MTB / RIF
Tes
cepat ini digunakan untuk kepentingan khusus, misalnya mengidentifikasi ada
tidaknya TB serta adanya resistensi rifampisin , yang merupakan proxy untuk MDR-TB
, dalam waktu 2 jam. Tes ini kini dilarang oleh FDA, namun WHO merekomendasikannya
sebagai tes diagnostik awal untuk orang-orang yang diduga MDR TB atau memiliki
TB terkait HIV.
· Lipoarabinomannan
kemih ( LAM ) / LAM urine
Tes
ini memberikan hasil yang lebih baik pada pasien dengan HIV dibanding mereka
yang tanpa HIV. Uji ini memiliki sensitivitas yang terbatas.
· Tes
kulit tuberkulin ( TST / PPD atau metode Mantoux ) dan interferon -gamma release
assay (tes IGRA) dapat digunakan untuk menguji TB laten.
Tes
kulit tuberkulin dapat mendeteksi antibodi terhadap TB sehingga tahu jika
seseorang pernah menderita TB laten/aktif di masa lalu. Vaksin BCG juga dapat
menyebabkan pembacaan positif palsu pada tes tuberkulin kulit.
· BTA
mikroskop
Dahak
dari orang yang diduga TB dianalisis di bawah mikroskop.
· Rontgen
dada
Pengidap
TB aktif yang tes smear (pulasan) dahaknya negatif harus melakukan rontgen
dada. Pada penderita TB aktif ketika dirontgen akan tampak jaringan parut pada
paru-parunya. Kendala bisa terjadi pada penderita HIV karena jaringan parut
dari TB sebelumnya atau karena penyebab terkait HIV lainnya.
· Tes
kultur TB
Tes
ini dilakukan dengan menumbuhkan kuman TB dalam sampel dahak di laboratorium.
Jika seseorang memiliki gejala TB namun BTA mikroskop negatif maka sebaiknya
melakukan tes biakan TB. Uji ini juga bermanfaat untuk penderita yang diduga
mengidap TB resisten obat.
Pengobatan
Duet
maut ini membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Perlu diperhatikan di sini
bahwa obat TB maupun obat HIV harus bisa digunakan berdampingan dan efek
samping dari kedua macam obat tersebut tidak terlalu membahayakan tubuh. Untuk
mengobati TB laten biasanya digunakan isoniazid (INH), sedangkan TB aktif INH
juga disertai dengan rifampisin atau rifabutin, pirazinamid, dan etambutol.
Obat-obatan ini harus diminum dengan tertib agar kuman TB tidak menjadi kebal.
Untuk membantu hal ini dilakukan metode DOT (pengawasan langsung).
Beberapa
obat TB memiliki efek samping kulit/mata menjadi kuning dan air seni berwarna
gelap seperti coca-cola. Gejala tersebut menandakan adanya kerusakan hati.
Namun jangan khawatir, gejala ini akan mereda saat konsumsi obat dihentikan.
AIDS
sendiri biasa diobati dengan terapi anti retroviral (ARV). Sayangnya, obat TB
dan terapi ARV tersebut berinteraksi negatif dalam arti malah mempersulit
pengobatan untuk pasien koinfeksi. Rifampisin malah menghambat terapi ARV yang
efektif. Oleh karena itu kini sedang dikembangkan obat TB baru yang kompatibel
dengan ARV. Selama jumlah CD4 tidak terlalu rendah , dokter Anda dapat
merekomendasikan mengobati tuberkulosis sebelum
menempatkan Anda pada ART.
Berbagai
kendala pengobatan TB-HIV bisa disebabkan karena toksisitas obat kumulatif,
interaksi obat-obat, sebuah beban pil tinggi, dan the immune reconstitution
inflammation syndrome (IRIS). IRIS merupakan pemulihan parsial dari sistem
kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan respon inflamasi berlebihan terhadap
infeksi oportunistik bersamaan.
IRIS
ada 2 macam, yaitu:
· TB
paradoks IRIS, penurunan klinis yang terjadi pada pasien yang sudah memulai
pengobatan TB.
Diagnosis
ini ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening baru atau memburuk, fitur
radiografi TB, manifestasi serositis, atau SSP, dan sering disertai gejala
kurang spesifik seperti demam, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan,
serta gangguan pernafasan dan perut. TB paradoks IRIS ini dapat terjadi tanpa
adanya inisiasi ART.
· Unmasking
TB IRIS, ditandai dengan diagnosis TB baru , biasanya dengan peradangan kuat,
setelah mulai ART. Umumnya terjadi dalam 2-3 bulan pertama setelah inisiasi ART.
Pengobatan
TB-HIV seringkali menyebabkan hepatotoksisitas, ruam, dan keluhan
gastrointestinal. Kondisi ini dapat diperburuk dengan toksisitas ARV dan
obat-obatan antibiotik seperti flukonazol dan trimethoprim - sulfamethoxazole,
dengan koinfeksi dengan virus hepatitis, atau penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya. Tiasetazon yang biasa digunakan bagi pasien HIV yang terinfeksi TB pun
seringkali menimbulkan ruam kulit sehingga akhirnya dilarang oleh WHO.
Pencegahan
Mencegah
lebih baik daripada mengobati. Tindakan pencegahan penyakit TB-AIDS dilakukan
dengan kegiatan kolaborasi TB-HIV, yaitu mempercepat diagnosis dan pengobatan
TB pada pasien HIV dan sebaliknya mempercepat diagnosis dan pengobatan HIV pada
pasien TB, dengan memperkuat jejaring layanan keduanya.
Untuk
mencegah TB terkait HIV digunakan kotrimoksazol dan inisiasi awal ART, model pelayanan
terpadu TB dan HIV, serta harus ada pengawasan dari HIV dan TB di antara
petugas kesehatan.
Tantangan di masa depan
TB
masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia
sedangkan perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Jumlah kumulatif kasus HIV dari 2005 sampai Juni 2013 sebanyak 108.600 kasus.
Orang dengan HIV atau AIDS (ODHA) memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah
sehingga sering terinfeksi juga oleh kuman TB. Fakta ini didukung oleh prediksi
WHO bahwa duet maut TB-HIV di Indonesia meningkat, dari 3,3% di tahun 2012
menjadi 7,5% di tahun 2013 (Global Report WHO 2013). Ini menjadi tantangan bagi
kita semua untuk mencegah agar TB dan HIV tidak berduet dan mengatasi duet maut
mereka yang sudah terlanjur terjadi.
Upaya
untuk mengurangi beban TB di antara orang yang hidup dengan HIV dan mengurangi
beban HIV di antara pasien TB terus dilakukan. Ke depannya diharapkan respon
imun lebih dipahami sehingga pengembangan vaksin TB tercapai.
Secara
umum, tantangan utama kolaborasi TB-HIV adalah:
1. Meningkatkan
jejaring layanan kolaborasi antara program TB dan program HIV di semua
tingkatan, komitmen politis dan mobilisasi sumber daya.
2. Meningkatkan
akses tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan yang
ditujukan bagi pasien TB dan bagaimana membangun jejaring pelayanan diagnosis
dan pengobatan.
3. Memastikan
bahwa pasien yang terdiagnosis TB dan HIV harus mendapatkan pelayanan yang
optimal untuk TB dan secara cepat harus dirujuk untuk mendapatkan dukungan dan
pengobatan HIV AIDS dalam hal ini termasuk pemberian pengobatan pencegahan
dengan kotrimoksasol dan pemberian ARV.
4. Memastikan
pendekatan pelayanan kepada pasien TB-HIV dengan konsep “one stop services”
Untuk
mempermudah penanganan TB-HIV muncul wacana untuk membuat pelayanan satu atap.
Namun perbedaan perawatan TB dan HIV masih menyulitkan hal ini. Layanan TB
diarahkan pada perawatan kronis dengan prosedur teknis sederhana dan standar,
sedangkan layanan HIV/AIDS berorientasi klinis dan cenderung menjadi lebih
individual/berfokus pada pasien. Begitu
pula dengan statusnya di mana AIDS sulit disembuhkan dan membutuhkan obat
seumur hidup, sehingga antar pasien atau antara pasien dengan profesional kesehatan terjalin hubungan erat. Sedangkan penderita
TB cenderung menyendiri (tidak berkelompok) dan penyakitnya dapat disembuhkan
dalam waktu sekitar 2 tahun, sehingga hubungan dengan para profesional kesehatan biasanya hanya sesaat. Lagipula jika layanan
TB dan HIV di-integrasi-kan maka penderita TB aktif berpotensi menularkan TB
pada penderita AIDS. Kesemuanya ini menjadi tantangan untuk dipecahkan.
5. Monitoring
dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV.
6. Ekspansi
ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia.
TB
maupun TB-HIV dapat disembuhkan asalkan ditangani dengan cepat dan tepat. Diharapkan
kerja sama dari berbagai pihak (jaringan besar pemangku kepentingan dari
organisasi internasional, donor, ahli TB dan ahli HIV, akademisi, dan lembaga
swadaya masyarakat dan pemerintah dari berbagai negara yang berbeda) mampu mewujudkan target 2010-2015 di global
Plan to Stop TB. Target itu adalah mengurangi separuh jumlah kematian akibat TB
di antara penderita yang positif HIV, dibandingkan dengan tahun 2004. Ini adalah
tantangan bagi kita semua.
Collaboration between TB and HIV
services helps save lives
Sumber:
Http://aids.gov/hiv-aids-basics/staying-healthy-with-hiv-aids/potential-related-health-problems/tuberculosis/
Http://hivinsite.ucsf.edu/insite?page=kb-05-01-06#s2x
Http://www.avert.org/tuberculosis-and-hiv.htm
Http://www.cdc.gov/tb/publications/pamphlets/tbandhiv_eng.htm
Http://www.cdc.gov/tb/publications/pamphlets/tb_hivcoinfection/default.htm
Http://www.cdc.gov/tb/topic/tbhivcoinfection/default.htm
Http://www.hiv.va.gov/patient/diagnosis/oi-tb.asp
Http://www.niaid.nih.gov/topics/tuberculosis/understanding/pages/tbhiv.aspx
Http://www.stoptb.org/wg/tb_hiv/
Http://www.tballiance.org/why/tb-hiv.php
Http://www.tbfacts.org/tb-hiv.html
Http://www.tbfacts.org/tb-hiv-deaths.html
Http://www.tbhivcare.org/index.php?page=info
Http://www.tbindonesia.or.id/tb-hiv/
Http://www.uphs.upenn.edu/bugdrug/antibiotic_manual/tb-hivclinicalmanual.pdf
Http://www.webmd.com/hiv-aids/guide/aids-hiv-opportunistic-infections-tuberculosis
Http://www.webmd.com/hiv-aids/guide/aids-hiv-opportunistic-infections-tuberculosis?page=2
Http://www.who.int/tb/challenges/hiv/en/
Komplit banget. Jadi keder nih ^^
BalasHapusMakasih mak sudah mampir. ^^
Hapus