APHANTASIA
(Journeying Through Mind Blindness and Embracing Our Unique Neurodiversity with Passion and Purpose)
Penulis: Joanne Hedger

Bermimpi dengan suara dan emosi, tanpa gambar, bisakah kamu membayangkannya?
Aphantasia merupakan istilah yang asing bagiku.
Bermula dari rasa penasaranku atas fenomena yang kualami, aku akhirnya mencari tahu lebih jauh akan makna kata tersebut.
Waktu itu aku nyetatus di Facebook tentang seseorang yang membuatku sangat kesal. Tanpa diduga, muncul gambar Son Goku di otakku sedang kamehameha. Gambar itu sangat jelas batas-batas garisnya maupun warnanya, padahal aku selama ini sulit untuk membayangkan apapun. Ketika aku bertanya fenomena tersebut ke AI, dia menduga aku aphantasia: aphantasia sebagian (tidak full) atau low visual imagery. Hah, apaan tuh?
Jadilah aku nyari tau lebih jauh dari buku-buku, dan buku Aphantasia karya Joanne Hedger ini adalah salah satunya.
Nah, sesuai sub judulnya, buku ini berisi pengalaman penderita aphantasia yang juga kepo kayak aku. Dia ngulik sampai dalem banget, sedangkan aku kepo-kepo ringan aja, karena aku memang dasarnya suka belajar dan ingin tahu apa saja, nggak cuma aphantasia ini.
APA ITU APHANTASIA?
Aphantasia itu intinya orangnya susah atau tidak bisa membayangkan bentuk visual/yang berupa gambar.
Gejalanya beda-beda, juga spektrumnya. Ada yang bahkan nggak bisa bayangin gambar sama sekali. Bahkan, mimpi mereka beda dengan orang kebanyakan. Mereka tidak bisa melihat gambar di dalam mimpi, mimpinya hanya tentang suara dan emosi.
Seperti kubilang, aku beda, mimpiku masih normal dan berwarna. Aku juga masih bisa membayangkan, tetapi sulit dan tidak kuat/kabur gambarnya. Selain itu, aku itu cenderung bisa membayangkan kalau ada konteksnya, kayak peristiwa atau terkait emosi. Aku pernah latihan dengan AI untuk ngecek kemampuan visualisasiku ini tapi aku nggak terlalu suka pakainya karena emosi yang spontan cenderung negatif dan itu bikin aku ruminasi. Barangkali itu mekanisme diriku biar aku ga terlalu sakit dengan emosi-emosi negatif, jadi kemampuan visualisasiku tidak kuasah.
Aku bahkan sempat kesal dengan buku-buku mental health yang dikit-dikit visualisasi. Malahan, aku sempat berencana bikin buku tandingannya, yaitu cara-cara menyehatkan mental tanpa visualisasi, tanpa afirmasi, tanpa meditasi, atau semacamnya.
Eh taunya kata AI, orang yang ga bisa visualisasi cuma 1-4%. Yah, kirain banyak.
Aku bahkan kayak melongo waktu ada buku mengatasi inner critic itu solusinya full visualisasi, gak cuma dengan gambar tapi dengan suara dan arah. Dia ngasih solusi misal gini:
Bayangkan "orang jahat" itu mengecil.
Bayangkan suara negatif itu menjauh
Bayangkan "orang jahat" itu jadi tokoh kartun yang lucu
Bayangkan suara negatif yang biasanya datang dari kirimu pindah dari kananmu.
Gitu-gitu.
Hah?
Orang-orang mampu kayak gitu? batinku.
Ya jelas aja satu buku isinya ga ada yang pas buatku.
Udah gitu aku paling ga paham kalau baca novel. Ga ingat aktor-aktornya. Ternyata, penulis ini juga serupa denganku, dia sulit memahami novel dengan aktor yang banyak dan deskripsi yang berlebihan.
Tapi...
Aphantasia itu cuma ga bisa/susah bayangin ya, bukan nggak bisa belajar dari gambar. Jadi, belajar dengan diagram, mindmap, brainstorming, dan semacamnya bisa-bisa aja.
Meski gitu, penulis kesulitan dalam pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan membayangkan, misalnya kayak di buku-buku mental health (healing) tadi yang biasa nyuruh visualisasi (entah kayak ceritaku di atas yang tentang ngatasi inner critic, atau kembali ke masa lalu, atau bahkan bayangin ada di tempat aman/tempat yang indah semuanya ga manjur buat orang-orang aphantasia), atau pelajaran matematika (mungkin irisan, rotasi, atau lainnya), sejarah (sejarah yang membayangkan), atau bahkan bidang biologi tertentu. Yah pokoknya, yang berhubungan dengan membayangkan gambar atau ruang itu mereka kesulitan.
Ya meskipun para penderita aphantasia kemudian beradaptasi dengan cara mereka masing-masing, tapi penulis berharap pelajaran itu dibuat juga agar ramah bagi penderita aphantasia.
Mereka itu belajar dengan teks, auditori, alat-alat bantu, atau teknik-teknik khusus, seperti metode ingatan loci, banyak mencatat dan menerjemahkan gambar-gambar dalam bentuk teks, asosiasi, atau bahkan menguatkan 4 indra lainnya. Ini wow banget lho buatku, mengagumkan. Layaknya orang buta yang kemudian menguatkan indra pendengarannya, orang yang mind blindness (aphantasia) ini juga ada yang kemudian mengaktifkan ingatan suara, ingatan rasa/pengecap, ingatan bau, dan ingatan tekstur/pokoknya ingatan yang berhubungan dengan kulit (bisa tekstur, suhu, atau lainnya). Namun, seperti penulisnya, aku juga tidak memiliki penguatan ingatan pada 4 indra tadi.
Jadi, buku Aphantasia itu berisi tentang perjalanan penulis dalam memahami lebih jauh tentang aphantasia yang dideritanya. Dia menjelaskan apa yang dialaminya dan bedanya dengan para penderita lain. Dia juga menjelaskan kesulitan-kesulitan penderita aphantasia dalam belajar, dalam pergaulan, mengingat tugas, lokasi, kepemilikan, dll. Tapi, dia juga nunjukin kelebihan-kelebihan penderita aphantasia itu apa dan bagaimana cara mereka bisa tetap berfungsi dengan baik / solusi aphantasia-nya.
Ada alat-alat fisik, alat-alat digital/aplikasi, latihan memori atau lainnya untuk bantu kamu.
Isinya sangat menarik (Karena dia baru buatku dan karena aku pun diduga aphantasia sebagian).
Covernya juga lumayan menggambarkan gangguan yang dialaminya. Ada dari mereka yang bisa melihat bayangan berupa gambar hitam putih, sedangkan orang normal kan lihat bayangan gambarnya berwarna.
Buku ini bacanya itu melelahkan banget karena cara nulisnya dan layout/pengaturan spasi dll-nya, tapi karena aku kepo, aku baca juga dia, walau dengan susah payah.
Sejauh ini untuk bahasan Aphantasia, aku baru nemu 2 judul buku.
Jadi, kalau kamu merasa tertarik atau bahkan mungkin kamu sendiri termasuk di dalamnya, buku Aphantasia ini bisa banget kamu pertimbangkan untuk dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.