"The Paradox of Choice," why more is less. How the culture of abundance robs us of satisfaction
Penulis: Barry Schwartz
Ada yang menarik saat pertama kali aku lihat cover buku "The Paradox of Choice" ini. Dia punya sub dari subjudul. Kalau kamu sudah lama ngikutin blogku, kamu mungkin tau kalau pada buku-buku bule ada subjudul itu biasa. Mayoritas atau mungkin semuanya (kayaknya semuanya deh) buku bule ada subjudulnya. Tapi yang ada subnya lagi (sub dari subjudul) seingatku aku baru nemu di buku ini aja. Hal lain yang biasanya kutemui juga di buku bule adalah daftar isinya nggak pake halaman. Dia cuma memuat chapter sekian, bahasan ini, tapi nggak ada halamannya.
Buku ini bukan buku biasa. Dia termasuk top ten book of the year, entah tahun berapa.
Isi buku ini adalah tentang memilih atau membuat keputusan. Ada banyak sekali hal di sekitar kita sementara waktu atau sumber daya kita terbatas, sehingga kita harus pandai-pandai memilih. Dari memilih hal-hal yang sederhana ala emak-emak seperti masak apa hari ini (ini aku sendiri ya bukan isi bukunya), sampai dengan memilih yang berat-berat/penting seperti memilih karir atau jodoh, semua perlu memilih.
Sayangnya, semakin banyak pilihan kita semakin bingung milihnya dan semakin berisiko mengalami rasa sakit. Jadi, gimana cara milih yang tepat? Itu ada seninya.
Buku ini diawali dengan betapa seringnya kita harus memilih, lalu dijelaskan tentang 3 tipe pemilih, kemudian alasan-alasan kita memilih (yang bahkan kadang tidak rasional), kemudian efek-efek terjadinya sesuatu sebelum kita memilih, tak ketinggalan pula dijelaskan mengenai efek-efek dari pilihan kita, kuesioner kita termasuk tipe pemilih yang mana, dan so pasti cara memilih dengan lebih baik dan tanpa penyesalan.
Buku ini masih kugolongkan berat tapi bagus. Hanya saja, menurutku bab 1-nya yang memuat macam-macam hal yang harus dipilih lebih baik dihilangkan atau disederhanakan cz terlalu buang-buang waktu, trus pada bagian-bagian lainnya akan sangat membantu kalau poin utamanya disorot/diberi penekanan misal dikotaki/di-bold.
Buku ini juga menarik karena saat membacanya itu aku berpikir, misalnya menikah. Menikah itu menutup pilihan kita untuk lirak-lirik lagi, tapi ternyata pembatasan pilihan itulah yang akan menghindarkan kita dari penderitaan karena pilihan yang tanpa batas. Sesaat aku teringat juga akan konsep "the one"/"the right one" yang dulu pernah kuyakini tapi juga telah kutinggalkan setelah aku melakukan unlearning dan relearning. Konsep "the one" juga dapat menyebabkan derita akibat pilihan tanpa batas seperti ini.
Hal lain yang juga menarik adalah tentang bahaya berandai-andai/menyesal. Ya, aku ingat hadits tentang itu saat membaca buku ini. Ada penjelasannya juga di sini. Secara terpisah aku juga pernah sih mengulasnya pada artikel lain di blog ini.
Kemudian yang paling mancep ya yang satu ini, memilih itu butuh waktu. Waktu untuk memilih akan mengurangi waktu untuk hal-hal lain di hidupmu, misalnya waktu untuk keluarga, untuk teman, dll. Jadi, hati-hati.
Akhir-akhir ini aku sudah sedikit berbenah. Aku sudah merapikan beberapa hal, aku sudah "tega" membuang buku-buku yang jelek/berat/nggak cocok/susah kupahami, aku sudah bisa membaca meloncat (nggak urut) atau bahkan membaca intinya saja (nggak harus semua/selesai), pokoknya aku sudah menyederhanakan beberapa hal, membuang beberapa hal, dan punya dasar pilih yang lebih kuat atas beberapa hal. Memilih dan membuat keputusan itu masih menjadi ranah yang bermasalah bagi diriku. Sekarang sedikit demi sedikit aku sudah bisa memilih dengan lebih baik.
So, apa pendapat finalku tentang buku ini? Bagus tapi berat. Masuk lah ya rekomendasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.