Ketika
kuliah dulu, saya memiliki geng beranggotakan 5-6 orang. Kami dari jurusan yang
berbeda-beda, tetapi masih satu fakultas. Saat itu fakultas memberlakukan
sistem yang membagi seluruh mahasiswa menjadi 4 kelompok. Saya termasuk
kelompok D. Pada perkuliahan tertentu saya akan bergabung dengan kelompok A,
dan pada perkuliahan yang lain saya bergabung dengan kelompok C. Jadi, kami
membaur. Hanya dengan kelompok B saya tidak terlalu kenal.
Baik
kelompok A, B, C, atau D terdiri dari mahasiswa dan mahasiswi berbagai jurusan.
Karena pada semester-semester awal mata kuliah dasar kami sama. Penjurusan
mulai dilakukan pada semester 3, meski masih ada juga kuliah bersama dengan
jurusan-jurusan yang lain. Dan geng saya tadi, semua beda jurusan dengan saya.
Suatu
hari saya sedang ada jadwal kelas yang berbeda dengan salah satu di antaranya. Semua
beda jadwal, tetapi hanya A yang berkepentingan di dalam cerita ini. Jadi,
hanya dia yang saya maksud.
Hari
itu saya ada ulangan ekologi. Materinya berupa hitungan. Saya membutuhkan
kalkulator scientific, dan saya membawanya. Tetapi ujian tersebut tidak di jam
pertama (jam ke-2), sehingga ketika A meminjamnya saya berikan. Seingat saya,
waktu itu dia membutuhkannya untuk pelajaran statistika. Dia meyakinkan saya kalau
kalkulator itu akan dikembalikan secepatnya.
Meski
demikian, tentu saja saya tidak bisa berlatih hitungannya. Apa yang saya pelajari
lebih bersifat hafalan. Sempat juga was-was jangan-jangan dosen akan memberikan
soal akar kuadrat yang hasilnya tidak bulat. Bilangannya jelek. Selain juga
angka-angka hitungan lain yang “jelek” (tidak bulat).
Dan
terjadilah. Bilangannya tak hanya jelek, tapi jelek-jelek. Semua terpaksa saya
hitung manual, secepat-cepatnya. Itupun tak sekadar mengisi, harus membuat dulu
tabel-tabel beserta segala tetek-bengeknya.
Sang
waktu sama sekali tak peduli hal itu. Ia terus berlalu tanpa menunggu kehadiran
A untuk menepati kata-katanya. Berkali-kali saya melihat ke arah jam tangan namun
dia tak kunjung tiba, membuat rasa stres dan putus asa ini sampai pada
puncaknya. Dengan sangat terpaksa, akhirnya saya abaikan dia dan fokus pada
ujian semata.
Soal-soal
itu begitu menantang adrenalin saya untuk dihajar. Tak ada waktu mengurusi hal
lain karena begitu jelek angkanya untuk dihitung manual. Di saat-saat seperti
itu hanya jam tangan yang menjadi teman setiaku. Kami sering beradu pandang, hanya
untuk memastikan agar apa yang saya kerjakan gila-gilaan ini bisa selesai tepat
waktu.
Lalu
muncullah pahlawan kesiangan itu di depan pintu, tepat di saat segalanya telah
usai. Wajahnya tampak aneh tetapi (seingat saya) tidak meminta maaf. Hanya
berusaha menyampaikan alasan-alasan. Tetapi perasaan dikhianati dan lelah ini membuat
saya mengabaikannya. Energi rasanya sudah terkuras untuk mengerjakan soal-soal
tadi, hingga yang terpikir kemudian hanyalah istirahat atau makan.
Waktu
adalah sesuatu yang sangat berharga. Barang yang sama di waktu yang berbeda
nilainya bisa berbeda. Kalkulator saya memang akhirnya kembali dan tetap utuh,
tetapi kebutuhan saya atasnya sudah berbeda. Beruntung nilai ujian saya
ternyata sangat baik, menjadi sedikit pelipur lara.