14 November 2025

Salah Sasaran, Boros Anggaran: Redesain MBG demi Tercapainya SDGs dan Indonesia Emas

ilustrasi makan bergizi gratis di sekolah SD

 

Hampir setahun sudah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan di Indonesia. Sebuah program yang digagas dengan harapan besar—menurunkan angka stunting, memperbaiki gizi siswa, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, di lapangan, pelaksanaannya masih jauh dari sempurna. Ada makanan yang mubazir karena tidak dimakan, siswa yang keracunan, hingga masalah kantin sekolah yang merasa tersaingi. Sementara itu, mereka yang paling membutuhkan, malah banyak yang belum kebagian.

Padahal, MBG didesain untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Mulai dari SDG 2 (Tanpa Kelaparan) dan SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), hingga SDG 4 (Pendidikan Berkualitas). Anak yang cukup makan tidak hanya tumbuh lebih sehat, tetapi juga lebih fokus belajar. Ia lebih aktif di kelas, jarang absen, dan lebih mudah menangkap pelajaran, sehingga baik untuk mendukung masa depannya. Namun, semua ini hanya bisa tercapai bila MBG diberikan pada daerah dan subyek yang tepat, dan dengan menu yang sesuai dengan masalah gizi spesifik individu, bukan didistribusikan merata. Sebab, ada juga siswa yang sudah cukup gizinya atau bahkan memiliki berat badan berlebih, sehingga dapat menimbulkan masalah baru, yaitu maraknya obesitas.

Saya melihat sendiri sekolah-sekolah elite di kota besar yang anak-anaknya dari keluarga berada pun ikut menerima MBG. Sementara di media sosial, ada seorang ibu dari daerah rawan gizi yang mengeluh, "Dapat telur saja kami sudah bersyukur." Ini bukan sekadar ironi, melainkan tanda bahwa program ini belum berpihak pada kelompok prioritas. Di tengah defisit APBN yang menanjak, pendekatan seperti ini terasa kurang bijak.

Stunting sendiri bukan sekadar soal kurang makan. Menurut UNICEF (2013), penyebab stunting ada 3. Pertama, penyebab dasar seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan ketimpangan sosial. Ke dua, penyebab tak langsung, yakni buruknya ketahanan pangan keluarga, rendahnya perawatan ibu dan anak, serta terbatasnya akses layanan kesehatan. Ke tiga, penyebab langsung seperti infeksi dan kurang gizi. Oleh karena itu, solusi untuk stunting harus menyentuh pendidikan keluarga, kesehatan, hingga ekonomi, termasuk mencontoh strategi dari daerah-daerah yang telah berhasil mencapai atau mempertahankan zero stunting.

Yang sering luput, banyak anak stunting juga menderita penyakit bawaan. Penyakitnya ini harus disembuhkan dulu agar stunting tersebut bisa diatasi. Dengan kata lain, tanpa pendekatan medis yang tepat, MBG tak akan banyak membantu.

Di sisi lain, pernikahan dini juga perlu mendapat penanganan serius. Ketika remaja putri dinikahkan terlalu muda, mereka berisiko hamil sebelum tubuhnya siap. Anak yang dilahirkan pun rentan stunting. Maka, edukasi gizi, kesehatan reproduksi, dan perlindungan remaja juga sangat penting bagi pencegahan stunting jangka panjang.

Dalam konteks ini, peran orang tua—terutama ibu—tidak tergantikan. Anak-anak seringkali meniru pola makan di rumah. Jika orang tua terbiasa tidak sarapan, anak pun akan meniru. Jika orang tua suka memilih-milih makanan, anak pun enggan mencoba sayur atau lauk baru. Maka, keteladanan menjadi fondasi dari pendidikan gizi. Kreativitas orang tua dalam menyajikan makanan bergizi dengan bentuk menarik, penyediaan pilihan camilan yang sehat, cerita yang menyenangkan, atau melibatkan anak dalam proses memasak bisa menumbuhkan kebiasaan makan sehat sejak dini. Hal lain yang juga tak kalah penting adalah perlunya pesan orang tua kepada anak agar hanya jajan makanan sehat di luar rumah.

Namun keluarga juga butuh dukungan struktural. Selain sekolah harus menyediakan kantin sehat, MBG juga perlu diarahkan menjadi program yang selektif dan berbasis data. Gunakan data dari DTKS, Riskesdas, survei puskesmas, dan BKKBN untuk menyasar anak dari keluarga miskin, wilayah rawan gizi, atau kelompok rentan putus sekolah. Selain anak sekolah, kelompok lain seperti ibu hamil, menyusui, dan remaja putri juga harus menjadi prioritas, karena mereka adalah penentu kualitas generasi masa depan. Tak peduli gendernya, semua berhak sehat dan kuat, baik melalui MBG, PMT, suplemen, fortifikasi pangan, maupun edukasi sebelum menikah.

Inilah semangat dari SDG 5: Kesetaraan Gender. Setiap anak perempuan berhak mendapat perhatian dan perlindungan gizi yang sama dengan anak laki-laki. Remaja putri yang sehat akan menjadi ibu yang kuat. Ibu yang kuat akan melahirkan generasi yang unggul. Selain itu, dalam pelaksanaan MBG, kesempatan ekonomi juga harus terbuka adil untuk semua gender. Ibu rumah tangga, perempuan kepala keluarga, hingga pelaku UMKM perempuan harus mendapat peluang yang setara untuk terlibat sebagai pemasok, juru masak, atau pelaku logistik. Karena kesetaraan bukan hanya soal hak, tapi juga soal akses, peluang, dan pemberdayaan.

Setelah sehat dan diberdayakan, barulah perempuan bisa berdiri sejajar dengan laki-laki sebagai penopang Indonesia Emas 2045.

Agar lebih efektif, MBG juga harus memperhatikan keragaman budaya dan kondisi lokal. Menu di Papua tentu berbeda dengan di Jawa atau NTT. Makanan yang disajikan harus menarik dan akrab di lidah anak-anak. Tanpa variasi dan inovasi, makanan sehat pun bisa ditolak. Baik MBG maupun alternatif seperti voucher pangan sehat, sebenarnya berpotensi besar dalam menggerakkan ekonomi lokal (SDG 8). Ketika makanan disiapkan oleh UMKM, dapur komunitas, atau koperasi lokal, maka uang negara langsung mengalir ke masyarakat. Permintaan terhadap telur, sayur, dan lauk dari petani dan peternak lokal meningkat. Ibu rumah tangga bisa bekerja sebagai juru masak atau pengemas makanan, UMKM pengolah makanan ringan bisa menjadi vendor, sedangkan sopir lokal mendapat pekerjaan dari distribusi makanan.

Efek dominonya kuat:

·      Petani mendapat pemasukan tetap → membeli pupuk dan alat tani lebih baik → hasil panen meningkat.

·      UMKM stabil → membuka lapangan kerja → daya beli masyarakat naik → pasar lokal menggeliat.

Inilah multiplier effect yang dijanjikan: bukan hanya memberi makan, tetapi juga memberi pekerjaan dan harapan. Namun, ini semua hanya bisa tercapai bila sistemnya adil, tidak dimonopoli, dan benar-benar melibatkan masyarakat bawah.

Karena itu, ke depan, pemerintah perlu mengevaluasi ulang desain MBG. Program ini jangan hanya besar dari sisi anggaran, tetapi harus tepat sasaran dan berdampak luas. Solusinya bisa berupa kombinasi antara MBG selektif, voucher pangan sehat, fortifikasi makanan, serta penguatan layanan kesehatan dan edukasi keluarga.

Karena pada akhirnya, Indonesia Emas 2045 hanya bisa dicapai jika seluruh rakyatnya sehat dan berdaya. Dan proses itu dimulai dari rumah, dari sekolah, dari meja makan, dan dari orang tua yang sadar akan pentingnya peran mereka dalam membentuk generasi unggul.

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.