19 Maret 2018

MEMBERI NILAI LEBIH DARI SUATU PENDAKIAN



Pendaki gunung



Imej Macho dan Keren

Pendakian gunung merupakan salah satu aktivitas yang diminati oleh banyak orang. Dan ada suatu pandangan/imej bahwa pendaki gunung pria itu macho. Mungkin karena sulitnya perjuangan di dalam menaklukkan medan pegunungan yang membuat mereka merasa demikian, atau bisa juga karena mereka merasa bisa survive hidup di alam yang sulit. Terkadang mereka sampai mengabaikan/kurang memperhatikan keselamatan dirinya demi untuk keren, refreshing, memuaskan egonya, menancapkan bendera di puncak, atau apapun nama dan bentuknya. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata sehari-hari di mana kita (mungkin) tidak hidup di pegunungan di manakah tempat dari nilai kejantanan yang semacam itu? Di dalam hubungan pria dan wanita misalnya sebagai suami istri, nilai real-nya di mana? Apakah jika pria tidak suka mendaki gunung lalu dikatakan tidak jantan? Stigma semacam ini sebaiknya diperbaiki.


Antara Pendaki Gunung, Pecinta Alam, dan Penikmat Alam

Entah bermula dari mana dan dimulai sejak kapan hingga pendaki gunung dianggap sama dianggap sama dengan pecinta alam. Hingga suatu hari ketika saya menyebut pecinta alam untuk menyebut orang yang tidak merusak tanaman, penyayang kucing, suka menanam bunga-bunga, memelihara kelestarian hewan (misalnya tidak memakai tas berbahan kulit buaya asli) dan semacamnya seseorang protes. Baginya, pecinta alam itu ya pendaki gunung semacam dirinya. Sebaliknya, saya pun protes, tidak semua pendaki mencintai alam. Lagipula, terlalu sempit jika makna pecinta alam hanya terbatas pada kaum pendaki gunung. Alam ini luas dan kita punya banyak cara untuk mencintainya. Sebelum pendaki gunung bisa disebut pecinta alam, kita perlu tanya terlebih dahulu, “Apa yang telah mereka lakukan kepada alam untuk bisa disebut demikian?”

Beberapa orang tidak ingin merasa terbebani harus begini-begitu terhadap alam sehingga tidak perlu/tidak peduli dengan embel-embel ‘pecinta alam’. Mereka lebih suka disebut ‘pendaki’ atau sekadar ‘penikmat alam’. Mereka hanya ingin menikmati keindahan dan kesejukan pegunungan, itu saja. Akan tetapi, apa yang bisa mereka nikmati jika alam pada akhirnya rusak?

Ancaman Kesombongan

Sebagian orang mungkin pernah mendengar tentang kisah Nabi Nuh, di mana kaumnya begitu sombong akan kebesaran gunung (menghindari banjir dengan naik ke atas bukit/gunung). Gunung memang besar sehingga ketika seseorang bisa mendaki hingga ke puncaknya mungkin akan timbul perasaan ‘besar’ juga di dirinya (sombong). Padahal, mereka tidak melakukan apa pun terhadapnya. Gunung itu tidak pernah ditaklukkannya (mereka hanya mendakinya). Dia tetap berdiri kokoh di tempatnya, tetap besar dan tinggi menjulang. Bahkan ketika dia itu tiba-tiba meletus atau bergoncang, mereka kaget dan mungkin seketika tersadar dari kesombongannya. Perasaan bahwa mereka sebenarnya kecil dibandingkan dengan gunung itu seringkali terlupakan. Padahal, perasaan kecil itulah yang terjadang bisa mengingatkan akan kebesaran Tuhan.

Gunung adalah Medan yang Asing

Gunung adalah medan yang asing. Ketika kita berpindah dari tempat kita yang nyaman di kota lalu menuju ke gunung tentu saja membutuhkan persiapan-persiapan, baik fisik, mental, perbekalan, dan sebagainya. Apalagi karakter gunung yang satu bisa berbeda dengan gunung yang lain. Jadi, persiapkan diri sebaik mungkin sebelum berangkat!

Persiapkan fisik dengan latihan/olahraga selama beberapa waktu sebelum hari pendakian, pakaian dan jaket, perbekalan dan alat memasak, alat komunikasi, obat-obatan, peta, dan sebagainya. Usahakan mengenali dengan benar seperti apa gunung yang akan kita tuju. Bagaimana kondisinya saat itu, jalur pendakiannya di mana, kapan saat yang tepat, dan hal-hal semacamnya. Miliki pengetahuan sebanyak mungkin tentangnya, termasuk juga survey lokasi. Selain itu, awali pendakian dengan berdoa dan sepanjang perjalanan hendaknya terus berdoa, berzikir, dan tetap menjalankan ibadah dengan sebaik mungkin. Usahakaan agar tidak sendirian/berpencar, agar ada yang menolong/bisa kerja sama jika mengalami kesulitan atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Setiba di sana, jangan abaikan petunjuk dari penjaga/petugas, karena mereka lebih tahu tentang kondisi gunung itu daripada kita. Patuhilah peraturan/warning dari mereka, misalnya daerah X tidak boleh dikunjungi/dinaiki, tidak boleh berkunjung pada waktu tertentu, dan semacamnya. Kendalikan hawa nafsu, jangan memaksa untuk memotret obyek yang keren tapi diambil dari tempat yang berbahaya/cara yang berbahaya, dsb.

Terkadang jalur pendakian ternyata ditutup. Tentu saja penutupan ini ada alasannya, entah tingginya potensi kebakaran, ancaman sumber air di gunung yang terbatas (agar pendaki tidak kesulitan air), atau potensi bahaya lainnya. Sebaiknya hal-hal seperti ini diperhatikan dan tidak diabaikan, demi keselamatan dan kenyamanan pendaki gunung itu sendiri, serta kelestarian alam. Tidak perlu sayang uang atau lainnya, jika memang berbahaya/dilarang jangan pernah melanggarnya! Pulang adalah lebih baik, atau mencari jalur lain yang aman (tergantung daerah mana yang berbahaya).

Kita Tidak Sendirian di Sana

Kita tidak sendirian di gunung. Ada manusia-manusia lain, hewan-hewan, tumbuhan-tumbuhan, bahkan makhluk dari dunia lain. Di tempat yang sama tetapi di alam yang berbeda ada makhluk-makhluk halus yang mungkin kita tidak bisa melihat atau merasakannya. Karena itu, pandai-pandailah membawa diri! 

Untuk bisa menempatkan diri dengan baik, lakukanlah hal-hal berikut ini:
1.          Banyak-banyak berdoa dan berzikir
2.  Berbicara dan bertingkah laku sopan (tidak kasar, menghindari perbuatan yang tidak senonoh, dll.)
3.  Tidak buang sampah sembarangan dan tidak membuat sampah di sana.
Bawalah kantong sampah sebagai wadah dari sampah-sampah kita.
4.    Tidak BAB/BAK sembarangan
Buang air besar sebaiknya dilakukan di antara semak-semak rimbun, jauh dari jalur pendakian/sumber air, bukan jalur migrasi hewan liar, serta bukan di lereng yang miring. Lalu buatlah lubang yang cukup dalam untuk tempat feses tersebut dan timbun dengan tanah. BAB yang dilakukan pada sumber air/di dekat sumber air bisa mencemari air tersebut, padahal air digunakan untuk berbagai keperluan.
5.   Tidak mandi/keramas dengan bahan kimia (sabun/sampo) pada sumber air
Bahan-bahan kimia ini bisa mencemari air bersih. Pada kondisi sekarang di mana krisis air bersih sudah terjadi di mana-mana hal ini sebaiknya ikut menjadi perhatian.
6. Tidak merusak tanam-tanaman/sumber air, misalnya mencabuti, menginjak-injak, dsb.
7.   Tidak mengambil tanaman/binatang, misalnya Edelweiss
8.   Tidak berburu binatang.
9.   Berhati-hati dengan sumber api, misalnya puntung rokok, api unggun, dll.
10. Tidak merusak lingkungan, misalnya corat-coret/menggores di pohon/batu/tugu, dsb.

Banyak makhluk membutuhkan dan atau sekaligus memanfaatkan gunung dan segala sumber daya yang ada di dalamnya. Makhluk halus misalnya, beberapa dari mereka mungkin akan terganggu jika manusia-manusia berbuat keriuhan atau berbuat hal-hal yang tidak baik di sana, hura-hura, sombong, merusak alam, dan semacamnya. Apalagi makhluk kasar (bukan makhluk gaib) yang nyata-nyata berbagi tempat dengan kita.

Kita harus menyadari bahwa alam mempunyai suatu daya dukung lingkungan. Hingga titik tertentu alam bisa memulihkan diri dari segala kerusakan yang terjadi padanya. Akan tetapi, jika melewati titik tersebut alam akan rusak dan tidak bisa memulihkan dirinya lagi. Dari sini semua orang harus menyadari bahwa keseimbangan alam harus tetap dijaga agar alam tetap lestari. Selain itu, gunung pun memiliki kapasitas, sebelum mengikuti pendakian massal, ada baiknya survey terlebih dahulu berapa kapasitas gunung tersebut, berapa jumlah pendaki yang dibolehkan ikut oleh panitia, dan hal yang terkait dengan konservasi lainnya.


Memberi Nilai Lebih dari Suatu Pendakian

Sebagai individu yang berbeda, bisa saja pendaki gunung yang satu dengan pendaki gunung yang lain memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang untuk refreshing, jalan-jalan, ingin tantangan, ingin mendapat obyek foto bagus, atau bahkan ingin kabur sesaat dari kondisi yang tidak disukai/tidak menyenangkan di rumah/tempat kerja, menghabiskan waktu, syuting film, dsb. Ada juga yang bertujuan untuk memupuk kebersamaan/solidaritas (walau sebenarnya kebersamaan bisa dipupuk di mana saja). Semuanya sah-sah saja. Namun, sadarkah kita bahwa apapun aktivitas kita berpengaruh kepada waktu? Artinya, itu adalah umur kita. Jika kita bisa melakukan kebaikan yang banyak dalam waktu singkat, bukankah itu lebih baik? Sadar atau tidak perjalanan di gunung itu sangat panjang dan lama. Jaraknya sangat jauh, dengan potensi bahaya yang lumayan besar. Kita belum tentu selamat dari sana. Meninggal dalam keadaan sedang berbuat kebaikan/banyak kemanfaatan lebih baik daripada meninggal dalam keadaan refreshing, bukan? Belum lagi, kondisi yang sulit mungkin bisa melalaikan ibadah. Semua perlu dipertimbangkan dengan matang terkait dengan pemanfaatan umur kita yang singkat ini.

Sampai di sini mungkin beberapa dari pembaca ada yang tertarik untuk menjadi pendaki gunung yang sekaligus sebagai pecinta alam. 

Dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia, disebutkan :

1.  Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

2.  Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Saya memiliki beberapa pemikiran/ide untuk memberi nilai lebih dari suatu pendakian, misalnya melakukan pendakian sambil:

1.   Membantu dalam bencana, misalnya membantu tim SAR
2. Membantu untuk berbuat kebaikan, misalnya perbaikan wilayah pegunungan (bersih gunung, tanam pohon, konservasi, dll.)
3. Membantu untuk melestarikan/meningkatkan kemanfaatan, misalnya penelitian/pengamatan untuk konservasi dan semacamnya.

“Wah, nggak jadi refreshing dong? Tetep aja judulnya kerja.” Begitu mungkin pikiran dari sebagian orang.

Begini. Itu semua tergantung dari kemampuan, kepahaman, dan kondisi dari masing-masing individu. Saya katakan demikian dalam arti mungkin ada sebagian orang yang sudah paham dan ingin memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Sebagian yang lain menganggap bahwa tidak merusak alam sudah merupakan tindakan mencintai alam itu sendiri. Sebagian lagi menganggap tidak merusak alam bukan merupakan tindakan mencintai alam. Alam sudah begitu dari sananya, baru ketika kalian berbuat sesuatu yang bernilai memperbaiki alam/memulihkan alam dan semacamnya itulah disebut mencintai alam. Sebagian sisanya mungkin hanya berpendapat, “Ya ga papa toh, hobi positif. Mending daripada pake narkoba.”

Jadi, tergantung sejauh mana tingkat kemaslahatannya. Jika lebih banyak sisi positifnya maka itu masih baik untuk dilakukan. Akan tetapi, ingatlah untuk selalu menjadi pendaki yang cerdas dan beretika!


Sumber: 

http://www.wiranurmansyah.com/5-dosa-pendaki-gunung
http://www.pecintaalam.net/8-tips-pendaki-pemula/
http://www.belantaraindonesia.org/2012/01/sejarah-singkat-pecinta-alam-indonesia.html
http://www.pecintaalam.net/lakukan-8-tips-ini-saat-buang-air-besar-di-gunung/


Sumber gambar: Pxhere