Pendaki gunung
Imej Macho dan Keren
Pendakian gunung merupakan salah satu aktivitas
yang diminati oleh banyak orang. Dan ada suatu pandangan/imej bahwa pendaki
gunung pria itu macho. Mungkin karena sulitnya perjuangan di dalam menaklukkan
medan pegunungan yang membuat mereka merasa demikian, atau bisa juga karena
mereka merasa bisa survive hidup di alam yang sulit. Terkadang mereka sampai
mengabaikan/kurang memperhatikan keselamatan dirinya demi untuk keren,
refreshing, memuaskan egonya, menancapkan bendera di puncak, atau apapun nama
dan bentuknya. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata sehari-hari di mana kita
(mungkin) tidak hidup di pegunungan di manakah tempat dari nilai kejantanan
yang semacam itu? Di dalam hubungan pria dan wanita misalnya sebagai suami
istri, nilai real-nya di mana? Apakah jika pria tidak suka mendaki gunung lalu
dikatakan tidak jantan? Stigma semacam ini sebaiknya diperbaiki.
Antara Pendaki Gunung, Pecinta Alam, dan Penikmat
Alam
Entah bermula dari mana dan dimulai sejak kapan
hingga pendaki gunung dianggap sama dianggap sama dengan pecinta alam. Hingga
suatu hari ketika saya menyebut pecinta alam untuk menyebut orang yang tidak
merusak tanaman, penyayang kucing, suka menanam bunga-bunga, memelihara
kelestarian hewan (misalnya tidak memakai tas berbahan kulit buaya asli) dan
semacamnya seseorang protes. Baginya, pecinta alam itu ya pendaki gunung
semacam dirinya. Sebaliknya, saya pun protes, tidak semua pendaki mencintai
alam. Lagipula, terlalu sempit jika makna pecinta alam hanya terbatas pada kaum
pendaki gunung. Alam ini luas dan kita punya banyak cara untuk mencintainya.
Sebelum pendaki gunung bisa disebut pecinta alam, kita perlu tanya terlebih
dahulu, “Apa yang telah mereka lakukan kepada alam untuk bisa disebut
demikian?”
Beberapa orang tidak ingin merasa terbebani harus
begini-begitu terhadap alam sehingga tidak perlu/tidak peduli dengan
embel-embel ‘pecinta alam’. Mereka lebih suka disebut ‘pendaki’ atau sekadar
‘penikmat alam’. Mereka hanya ingin menikmati keindahan dan kesejukan
pegunungan, itu saja. Akan tetapi, apa yang bisa mereka nikmati jika alam pada
akhirnya rusak?
Ancaman Kesombongan
Sebagian orang mungkin pernah mendengar tentang
kisah Nabi Nuh, di mana kaumnya begitu sombong akan kebesaran gunung
(menghindari banjir dengan naik ke atas bukit/gunung). Gunung memang besar
sehingga ketika seseorang bisa mendaki hingga ke puncaknya mungkin akan timbul
perasaan ‘besar’ juga di dirinya (sombong). Padahal, mereka tidak melakukan apa
pun terhadapnya. Gunung itu tidak pernah ditaklukkannya (mereka hanya
mendakinya). Dia tetap berdiri kokoh di tempatnya, tetap besar dan tinggi menjulang.
Bahkan ketika dia itu tiba-tiba meletus atau bergoncang, mereka kaget dan
mungkin seketika tersadar dari kesombongannya. Perasaan bahwa mereka sebenarnya
kecil dibandingkan dengan gunung itu seringkali terlupakan. Padahal, perasaan
kecil itulah yang terjadang bisa mengingatkan akan kebesaran Tuhan.
Gunung adalah Medan yang Asing
Gunung adalah medan yang asing. Ketika kita
berpindah dari tempat kita yang nyaman di kota lalu menuju ke gunung tentu saja
membutuhkan persiapan-persiapan, baik fisik, mental, perbekalan, dan
sebagainya. Apalagi karakter gunung yang satu bisa berbeda dengan gunung yang
lain. Jadi, persiapkan diri sebaik mungkin sebelum berangkat!
Persiapkan fisik dengan latihan/olahraga selama
beberapa waktu sebelum hari pendakian, pakaian dan jaket, perbekalan dan alat
memasak, alat komunikasi, obat-obatan, peta, dan sebagainya. Usahakan mengenali
dengan benar seperti apa gunung yang akan kita tuju. Bagaimana kondisinya saat
itu, jalur pendakiannya di mana, kapan saat yang tepat, dan hal-hal semacamnya.
Miliki pengetahuan sebanyak mungkin tentangnya, termasuk juga survey lokasi.
Selain itu, awali pendakian dengan berdoa dan sepanjang perjalanan hendaknya
terus berdoa, berzikir, dan tetap menjalankan ibadah dengan sebaik mungkin. Usahakaan
agar tidak sendirian/berpencar, agar ada yang menolong/bisa kerja sama jika
mengalami kesulitan atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Setiba di sana, jangan abaikan petunjuk dari
penjaga/petugas, karena mereka lebih tahu tentang kondisi gunung itu daripada
kita. Patuhilah peraturan/warning dari mereka, misalnya daerah X tidak boleh
dikunjungi/dinaiki, tidak boleh berkunjung pada waktu tertentu, dan semacamnya.
Kendalikan hawa nafsu, jangan memaksa untuk memotret obyek yang keren tapi
diambil dari tempat yang berbahaya/cara yang berbahaya, dsb.
Terkadang jalur pendakian ternyata ditutup. Tentu
saja penutupan ini ada alasannya, entah tingginya potensi kebakaran, ancaman
sumber air di gunung yang terbatas (agar pendaki tidak kesulitan air), atau
potensi bahaya lainnya. Sebaiknya hal-hal seperti ini diperhatikan dan tidak
diabaikan, demi keselamatan dan kenyamanan pendaki gunung itu sendiri, serta
kelestarian alam. Tidak perlu sayang uang atau lainnya, jika memang
berbahaya/dilarang jangan pernah melanggarnya! Pulang adalah lebih baik, atau
mencari jalur lain yang aman (tergantung daerah mana yang berbahaya).
Kita Tidak Sendirian di Sana
Kita tidak sendirian di gunung. Ada
manusia-manusia lain, hewan-hewan, tumbuhan-tumbuhan, bahkan makhluk dari dunia
lain. Di tempat yang sama tetapi di alam yang berbeda ada makhluk-makhluk halus
yang mungkin kita tidak bisa melihat atau merasakannya. Karena itu,
pandai-pandailah membawa diri!
Untuk bisa menempatkan diri dengan baik, lakukanlah hal-hal berikut
ini:
1.
Banyak-banyak berdoa dan berzikir
2. Berbicara dan bertingkah laku sopan (tidak kasar, menghindari
perbuatan yang tidak senonoh, dll.)
3. Tidak buang sampah sembarangan dan tidak membuat sampah di sana.
Bawalah kantong sampah sebagai wadah dari
sampah-sampah kita.
4. Tidak BAB/BAK sembarangan
Buang air besar sebaiknya dilakukan di antara
semak-semak rimbun, jauh dari jalur pendakian/sumber air, bukan jalur migrasi
hewan liar, serta bukan di lereng yang miring. Lalu buatlah lubang yang cukup
dalam untuk tempat feses tersebut dan timbun dengan tanah. BAB yang dilakukan
pada sumber air/di dekat sumber air bisa mencemari air tersebut, padahal air
digunakan untuk berbagai keperluan.
5. Tidak mandi/keramas dengan bahan kimia (sabun/sampo) pada sumber air
Bahan-bahan kimia ini bisa mencemari air bersih.
Pada kondisi sekarang di mana krisis air bersih sudah terjadi di mana-mana hal
ini sebaiknya ikut menjadi perhatian.
6. Tidak merusak tanam-tanaman/sumber air, misalnya mencabuti,
menginjak-injak, dsb.
7. Tidak mengambil tanaman/binatang, misalnya Edelweiss
8. Tidak berburu binatang.
9. Berhati-hati dengan sumber api, misalnya puntung rokok, api unggun,
dll.
10. Tidak merusak lingkungan, misalnya corat-coret/menggores di
pohon/batu/tugu, dsb.
Banyak makhluk membutuhkan dan atau sekaligus
memanfaatkan gunung dan segala sumber daya yang ada di dalamnya. Makhluk halus
misalnya, beberapa dari mereka mungkin akan terganggu jika manusia-manusia
berbuat keriuhan atau berbuat hal-hal yang tidak baik di sana, hura-hura,
sombong, merusak alam, dan semacamnya. Apalagi makhluk kasar (bukan makhluk
gaib) yang nyata-nyata berbagi tempat dengan kita.
Kita harus menyadari bahwa alam mempunyai suatu
daya dukung lingkungan. Hingga titik tertentu alam bisa memulihkan diri dari
segala kerusakan yang terjadi padanya. Akan tetapi, jika melewati titik
tersebut alam akan rusak dan tidak bisa memulihkan dirinya lagi. Dari sini
semua orang harus menyadari bahwa keseimbangan alam harus tetap dijaga agar
alam tetap lestari. Selain itu, gunung pun memiliki kapasitas, sebelum mengikuti
pendakian massal, ada baiknya survey terlebih dahulu berapa kapasitas gunung
tersebut, berapa jumlah pendaki yang dibolehkan ikut oleh panitia, dan hal yang
terkait dengan konservasi lainnya.
Memberi Nilai Lebih dari Suatu Pendakian
Sebagai individu yang berbeda, bisa saja pendaki
gunung yang satu dengan pendaki gunung yang lain memiliki tujuan yang berbeda.
Ada yang untuk refreshing, jalan-jalan, ingin tantangan, ingin mendapat obyek
foto bagus, atau bahkan ingin kabur sesaat dari kondisi yang tidak disukai/tidak
menyenangkan di rumah/tempat kerja, menghabiskan waktu, syuting film, dsb. Ada
juga yang bertujuan untuk memupuk kebersamaan/solidaritas (walau sebenarnya
kebersamaan bisa dipupuk di mana saja). Semuanya sah-sah saja. Namun, sadarkah
kita bahwa apapun aktivitas kita berpengaruh kepada waktu? Artinya, itu adalah
umur kita. Jika kita bisa melakukan kebaikan yang banyak dalam waktu singkat,
bukankah itu lebih baik? Sadar atau tidak perjalanan di gunung itu sangat
panjang dan lama. Jaraknya sangat jauh, dengan potensi bahaya yang lumayan
besar. Kita belum tentu selamat dari sana. Meninggal dalam keadaan sedang
berbuat kebaikan/banyak kemanfaatan lebih baik daripada meninggal dalam keadaan
refreshing, bukan? Belum lagi, kondisi yang sulit mungkin bisa melalaikan
ibadah. Semua perlu dipertimbangkan dengan matang terkait dengan pemanfaatan
umur kita yang singkat ini.
Sampai di sini mungkin beberapa dari pembaca ada
yang tertarik untuk menjadi pendaki gunung yang sekaligus sebagai pecinta alam.
Dalam
Kode Etik Pecinta Alam Indonesia, disebutkan :
1. Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang
mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Saya memiliki beberapa pemikiran/ide untuk memberi nilai lebih dari
suatu pendakian, misalnya melakukan pendakian sambil:
1. Membantu dalam bencana, misalnya membantu tim SAR
2. Membantu untuk berbuat kebaikan, misalnya perbaikan wilayah pegunungan
(bersih gunung, tanam pohon, konservasi, dll.)
3. Membantu untuk melestarikan/meningkatkan kemanfaatan, misalnya
penelitian/pengamatan untuk konservasi dan semacamnya.
“Wah, nggak jadi refreshing dong? Tetep aja judulnya kerja.” Begitu
mungkin pikiran dari sebagian orang.
Begini. Itu semua tergantung dari kemampuan,
kepahaman, dan kondisi dari masing-masing individu. Saya katakan demikian dalam
arti mungkin ada sebagian orang yang sudah paham dan ingin memanfaatkan
waktunya dengan sebaik-baiknya. Sebagian yang lain menganggap bahwa tidak
merusak alam sudah merupakan tindakan mencintai alam itu sendiri. Sebagian lagi
menganggap tidak merusak alam bukan merupakan tindakan mencintai alam. Alam
sudah begitu dari sananya, baru ketika kalian berbuat sesuatu yang bernilai
memperbaiki alam/memulihkan alam dan semacamnya itulah disebut mencintai alam.
Sebagian sisanya mungkin hanya berpendapat, “Ya ga papa toh, hobi positif.
Mending daripada pake narkoba.”
Jadi, tergantung sejauh mana tingkat
kemaslahatannya. Jika lebih banyak sisi positifnya maka itu masih baik untuk
dilakukan. Akan tetapi, ingatlah untuk selalu menjadi pendaki yang cerdas dan
beretika!
Sumber:
http://www.wiranurmansyah.com/5-dosa-pendaki-gunung
http://www.pecintaalam.net/8-tips-pendaki-pemula/
http://www.belantaraindonesia.org/2012/01/sejarah-singkat-pecinta-alam-indonesia.html
http://www.pecintaalam.net/lakukan-8-tips-ini-saat-buang-air-besar-di-gunung/
Sumber gambar:
Pxhere