Tukang
Bubur (ilustrasi)
Tanpa
sadar, ia menjalankan prinsip marketing. Ia menemukan momen “AHA” itu, dan aku
merasa “WOW” dibuatnya.
Tiga
belas tahun menjual bubur bukanlah waktu yang singkat. Namun, belum pasti juga
dengan waktu se-lama itu orang pasti sukses. Misalnya tukang bakso, aku pernah
menemuinya masih tetap dagang bakso keliling, hanya beda lokasi. Tak lagi lewat
di perumahanku.
Pak
Bubur adalah salah satu penjual keliling yang santun. Pelayanannya baik dan
kata-katanya sopan. Keluargaku kurang suka bubur ayam seperti itu. Meskipun rasanya enak dan harganya murah. Biasanya
kami hanya beli saat sakit atau kurang enak badan, dan pada saat yang jarang,
kalau tidak ada makanan. Bagi kami, bubur yang seperti itu hanya makanan orang
sakit. Kecuali bubur sumsum atau bubur grendul, kami suka.
Hari
itu dia tidak lewat, padahal adikku sakit. Ketika esoknya lewat, aku ajaklah
ngobrol. Ternyata dia sekarang punya warung. Yah, dalam proses berhenti jualan
keliling. Capek. Gitu katanya. Nah, berhubung isterinya sakit, kadang-kadang
dia jadi jarang keliling. Dia yang jaga warungnya. Dia juga yang masak.
Aku
kan kepo nih. Toh orangnya juga welcome ditanya. Gimana sih prosesnya dia bisa
membaik hidupnya? Trus dia cerita, “Saya jualan sudah 13 tahun mbak”. Suer, aku
nggak ngira sudah se-lama itu, nggak ngitung. Trus aku tanya-tanya rumahnya di
mana, warungnya di mana, kenapa kok milih situ, gitu-gitu deh. Dia bilang
dulunya suka mangkal di situ, laris. Makanya trus bikin warung di situ.
“Laris,
Pak?” tanyaku.
“Yah,
alhamdulillah.” Jawabnya.
Ngobrol-ngobrol
sama dia bikin aku inget ilmu marketing yang pernah kudapatkan. Aku pernah jadi
marketing koperasi, bagian tabungan (funding), tapi cuma sehari. Nggak kerasan,
haha .... Habisnya langsung ditolak dengan kasar, dan aku mengkeret. Tapi meskipun
sehari sudah diajari sebagian ilmunya. Di-briefing gitu lah istilahnya. Kalau
jualan itu usahakan kamu bisa dikenali (dititeni kalau kata orang Jawa).
Kamu bisa ditemui hari apa, jam berapa, gitu gitu. Nah, Pak Bubur tadi mungkin
juga sudah mangkal di mana-mana. Udah “riset” ala dia. Eh mangkal di sini kok
rame, di situ kok sepi, semacam itu. Akhirnya buka lah warung di tempat yang
rame itu, dan laris.
Sekarang
dia sedang berproses beralih sepenuhnya untuk full ngurus warungnya sepertinya.
Wah, susah, nggak ada yang jual bubur lagi nih kalau ada yang sakit.
Sumber
gambar: Tribunnews