30 Maret 2018

Rumah oh Rumah


Rumah oh Rumah
Rumah besar

Sebuah rumah membawa pikiranku berkelana. Rumah besar berpenghuni sedikit, dan jarang dihuni. Maksudnya, waktu untuk di luar rumah termasuk panjang.

Saat ini, rumah di mana-mana tampak seolah bermegah-megahan. Orang Jawa bilang jor-joran. Tapi aku tidak membahas jor-joran-nya, hanya tentang ukurannya. Nggak di kota nggak di desa, rumah-rumah itu banyak yang besar. Kadang terlihat berlebihan bila dibandingkan dengan jumlah penghuninya.

Di saat ada rumah kecil atau ruangan kecil dihuni banyak orang, ada pula rumah besar yang ”ngglondhang” (tidak terlalu terisi). Beberapa di antaranya tingkat/memiliki loteng.

Setelah masa demi masa berlalu, penghuninya (orangtua yang memiliki) pun menua. Banyak yang mengeluhkan lututnya sakit, ada juga yang mengeluhkan napas yang sudah tidak kuat untuk naik ke loteng, atau semacamnya. Di sisi lain, rumah yang “kosong” menjadi semakin kosong dengan berpindahnya anak-anaknya karena menikah. Hanya pada momen-momen yang sangat jarang anak, cucu, dan atau keluarga besarnya berkumpul dan membuat penuh rumah tersebut.

Kondisi seolah menjadi semakin tragis dengan datangnya masa pensiun. Masa transisi kehidupan ini sering gagal dilewati oleh sebagian orang. Ditambah bila pasangannya meninggal, semakin kosonglah rumah itu.

Aku sering berpikir, banyak orang sebenarnya nggak membutuhkan rumah sebesar itu. Apalagi lahan terbatas dan jumlah penduduk semakin banyak. Tetapi nyatanya orang-orang itu membuat rumah besar dan sangat besar. Malah berlomba besar-besaran. Kadang kasihan melihat masa peralihan mereka, ketika mengalami kondisi seperti di atas.

Rumah oh rumah. Besar atau kecil ukurannya menyimpan kisahnya sendiri-sendiri.


Sumber gambar: http://dezeng.blogspot.co.id