Dua pengemis di Jakarta kepergok makan di restoran. Netizen heboh. Pasalnya, tak hanya gaya hidupnya yang dipandang kontras dengan kemampuan finansialnya, warganet juga menduga salah satu di antaranya adalah simpatisan salah satu parpol. Celakanya lagi, foto Mensos Tri Rismaharini terpampang sedang mensurvei mereka. Tak ayal muncul asumsi-asumsi adanya kongkalikong alias drama di antara mereka. (Sindonews, 6 Januari 2021).
Namun, saya tak ingin membahas lebih jauh mengenai kebenarannya. Saya malah lebih tertarik menyoroti sisi "makan di restoran"-nya. Ya memang sih "idealnya" pengemis itu miskin atau fakir, yang intinya benar-benar tidak mampu. Akan tetapi, jangan menutup mata kalau ada juga pengemis-pengemis yang kaya, bahkan sengaja menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Dan pekerjaan mengemis ini bisa memberikan penghasilan yang sangat fantastis, mengalahkan sebagian orang-orang yang kerja kantoran atau yang punya jabatan-jabatan mentereng. Makanya mereka enggan berhenti mengemis atau pindah pekerjaan, karena begitu PW (posisi wenak)-nya.
Dikutip dari Brilio, ada Legiman dengan kekayaan lebih dari 1 M, Siswari 140 juta, dan Muklis 90 juta. Bahkan, Bharat Jain, pengemis dari India, mampu mengantongi 14 juta per bulan dari mengemis serta memiliki apartemen senilai 1,6 miliar. Menggiurkan, bukan?
Jadi, mengemis itu belum tentu karena tidak mampu, ada juga yang karena memang mentalnya begitu.
Islam sendiri melarang orang mengemis/meminta-minta jika tidak dalam kondisi terpaksa atau darurat.
Dikutip dari Muslim.or.id, inilah sumber-sumbernya:
- Meminta-minta hukum asalnya terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini, diantaranya:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).
Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i beliau berkata,
قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا»
“Kami telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan perkataannya) dan tidak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun‘” (HR. Muslim no. 1043).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
Saya pribadi berpendapat, kalaupun terpaksa berusahalah dulu untuk menukarkannya dengan suatu jasa/pekerjaan, bisa mengelap mobil, menjadi badut, mencabuti rumput, mengecat, atau lainnya. Jangan sampai mengemis.
Akan tetapi, lebih utama lagi bila orang-orang yang mampu itu meningkatkan kepekaannya dan menyantuni mereka sehingga orang-orang yang membutuhkan tadi tercukupi kebutuhannya sekaligus terpelihara kehormatannya.
Jadi balance. Ada upaya dari para fakir miskin dan dhuafa tadi untuk bekerja semampunya sehingga tidak mengemis, dan ada upaya juga dari orang-orang kaya/yang mampu untuk menyantuni atau memberdayakan mereka sehingga tidak mengemis.
Pada saat ada banyak orang kaya tetapi masih banyak kita jumpai pengemis, dalam arti pengemis yang ori (bukan abal-abal), yang memang butuh dan bukan pemalas, bukan pula yang menjadikan mengemis sebagai pekerjaan, seharusnya bisa menjadi renungan juga bagi orang-orang kaya. Mengapa bisa demikian? Mungkin mereka bisa lebih peduli lagi atau mungkin bantuannya bisa diformat sehingga lebih tepat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.