Pada
31 Desember 2019 pemerintah Tiongkok mengumumkan keberadaan virus Corona baru (virus
2019-nCov) di Wuhan. Namun, meski kasus pertama diyakini ditemukan di Wuhan, hingga
kini belum diketahui pasti di negara mana virus Corona pertama kali menginfeksi
dan kapan tepatnya.
Penyebaran
virus Corona begitu masif, hingga ketika setidaknya 118 negara telah mengkonfirmasi
diri terjangkit virus ini, WHO terpaksa menetapkan keberadaan Covid 19 sebagai
pandemi global. Hanya dalam jangka tiga bulan virus Corona telah berhasil
menjadi momok bagi lebih dari 100 negara, tak terkecuali Indonesia.
Situasi
sangat kacau, berbagai upaya pun dilakukan demi memperlambat laju penyebaran
Covid 19 dan segera mengakhiri mimpi buruk ini, namun belum berhasil. Rasa
panik dan takut mencekam masyarakat hingga memicu mereka memborong masker, hand
sanitizer (disinfektan), vitamin C, bahkan mengalami degradasi kesehatan
mental. Begitupun dengan para tenaga kesehatan (dokter dan suster), dan para
karyawan rumah sakit lain seperti para petugas kebersihan (cleaning service)
tak luput dari perasaan takut yang manusiawi ini.
Meski
demikian, tak semua orang seperti mereka, banyak juga orang yang tenang-tenang
saja seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan, ada pula yang menganggap virus Corona
ini hanya fantasi dan tak pernah ada. Tak peduli orang lain disiplin memakai
masker, hand sanitizer, serta melakukan isolasi diri, karantina, atau physical
distancing, mereka cuek-cuek saja. Banyak dari mereka yang masih suka
mangkal di kafe-kafe atau mal-mal dan mendapat pendisiplinan lebih lanjut dari
Bapak Polisi.
Mengapa
sampai ada orang yang tetap cuek dengan virus Corona di saat orang-orang yang
lain banyak yang ketakutan? Di antara penyebabnya kemungkinan adalah karena
mereka berpegang teguh pada keyakinan yang salah. Banyak bukan teori-teori
konspirasi dan berita palsu (fake news/hoax) yang beredar saat pandemi
Corona ini, sama seperti pandemi-pandemi sebelumnya yang juga sarat dengan
munculnya teori konspirasi.
Entah
teori mana yang mereka ikuti, padahal terlepas dari benar tidaknya teori-teori
konspirasi yang ada setahu saya tak ada yang meragukan keberadaan Covid. Mereka
tidak mengatakan bahwa Covid itu tidak ada, paling-paling hanya memperdebatkan
tentang seberapa bahayanya virus Corona baru ini.
Bagaimana
bisa dikatakan hanya fantasi, sementara para dokter dan perawat begitu
sibuknya, pemerintah begitu paniknya, banyak orang harus dirumahkan (di-PHK),
dan terutama telah banyak juga jatuh korban jiwa. Jahat sekali bila kita
menganggap para tenaga kesehatan itu mengenakan APD atau bermasker hanya untuk
drama.
Hingga
detik ini saja, data dari WHO yang dikutip dari https://covid19.kemkes.go.id/
menyebutkan angka kematian global akibat Covid mencapai 5,2%, sementara di Asia
Tenggara 2,9%, sedangkan di Indonesia 5,2%. Itu artinya WHO menegaskan bahwa
risiko global sangat tinggi.
Di
Indonesia sendiri, dari 49.009 kasus terkonfirmasi Covid, sebanyak 2.573 jiwa
telah melayang. Apakah semua dari mereka meninggal karena penyakit penyerta
(komorbid)? Ternyata tidak. Meskipun sebagian besar pasien meninggal memiliki
penyakit komorbid, tetapi ada juga yang meninggal tanpa penyakit lain yang
menyertainya.
Berikut
ini adalah beberapa contoh korban Covid yang meninggal tanpa komorbid:
1. Di
RSUP Persahabatan, data bulan April lalu menunjukkan, dari 205 pasien, sebanyak
65 pasien (86 persen) yang meninggal menderita komorbid sementara 11 pasien (14
persen) lainnya tanpa komorbid (Detik.com, 9 Juni 2020).
2. Di
NTB, dari 41 pasien meninggal per 16 Juni, 13 orang di antaranya (yaitu 30
persen) meninggal tanpa komorbid (lombokpost.jawapos.com, 18 Juni 2020).
3. Di
Tiongkok, jumlah korban Covid yang meninggal tanpa komorbid per 11 Februari
2020 mencapai 26 persen (katadata.co.id, 17 April 2020).
Jadi,
penderita Covid-19 tanpa penyakit penyerta pun berpotensi untuk meninggal.
Oleh
karena itu, kita tak boleh lengah dan abai terhadap virus Corona ini. Usahakan
untuk tetap mawas diri tanpa cemas berlebihan. Ikuti segala anjuran pemerintah
dengan baik, baik itu memakai masker, hand sanitizer, menjaga jarak
dengan orang lain, atau lainnya, sambil tetap menjaga dan memperbaiki imunitas
tubuh dengan makan makanan yang sehat dan bergizi seimbang, minum air yang
cukup, mengkonsumsi vitamin dan mineral penunjang daya tahan tubuh, istirahat
yang cukup, olahraga teratur, serta menghindari stres.
Agar
hati semakin tenang, kita juga bisa melakukan skrining awal Covid dengan rapid
test untuk mengetahui apakah kita telah tertular virus Corona atau tidak.
Hasil
dari rapid test akan menunjukkan:
1. Reaktif,
artinya antibodi sudah ada dalam tubuh/sudah pernah terinfeksi Corona.
2. Non
reaktif, artinya:
a. Orang
tersebut belum terinfeksi virus Corona, atau
b. Sudah
terinfeksi Corona tetapi antibodi belum terbentuk, karena antibodi baru
terbentuk sekitar 8 hari setelah kemasukan virus.
Agar
hasilnya lebih akurat, lakukan rapid test kembali setelah 7 hari.
Nah,
di mana kita bisa melakukan rapid test?
Akses
layanan rapid test bisa dilakukan melalui Halodoc, yaitu sebuah aplikasi
kesehatan yang memberikan solusi kesehatan lengkap dan terpercaya untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan kita dan keluarga. Aplikasi tersebut memungkinkan kita
untuk berkonsultasi dengan dokter, membeli obat, periksa lab, mencari rumah
sakit, membuat janji dengan dokter, hingga mengingatkan untuk minum obat.
Lengkap dan praktis, bukan? Halodoc sangat memanjakan urusan kesehatan kita dan
keluarga. Memang demikianlah tujuan digagasnya Halodoc, memudahkan dan
mempersingkat akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Khusus
bagi warga Surabaya yang ingin melakukan rapid test, ikuti panduannya dengan
melakukan klik pada link berikut Covid
test Surabaya. Di situ kita bisa
melihat berapa harga rapid test, lokasi rapid test, sekaligus
memilih dan membuat janji tes Covid dengan dokternya. Gampang, bukan?
Covid
itu nyata, karena itu sayangi diri dan keluarga kita dengan memelihara
kesehatan sebaik-baiknya. Cegah keparahan sebelum terlambat.
Sumber:
https://covid19.kemkes.go.id/
https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/12/003124065/menyebar-hingga-118-negara-virus-corona-ditetapkan-who-sebagai-pandemi?page=all
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5045877/14-persen-meninggal-tanpa-penyakit-penyerta-masih-ragukan-bahaya-corona
https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-01398422/beda-dari-pengakuan-tiongkok-studi-harvard-klaim-corona-mungkin-muncul-di-wuhan-sejak-agustus-2019
https://lombokpost.jawapos.com/ntb/18/06/2020/13-pasien-korona-di-ntb-meninggal-tanpa-riwayat-penyakit-bawaan/
https://katadata.co.id/infografik/2020/04/17/faktor-penyebab-kematian-akibat-covid-19
https://www.kompas.tv/article/82396/tanya-jawab-corona-ini-arti-reaktif-dan-non-reaktif-saat-rapid-test
https://wartakota.tribunnews.com/2016/04/22/halodoc-aplikasi-konsultasi-dokter-diluncurkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.