Kasih sayang
Sumber: Fimela.com
Dilarang
memiliki perasaan, tetapi harus memiliki perasaan. Dilema hidup manusia yang sejak dulu
memang sudah tidak jelas. Ketika kecil, anak-anak sering dilarang menangis,
“Sudah diam, jangan cengeng!” Dilarang juga marah atau memiliki perasaan
lainnya. Terutama anak laki-laki, seolah berada di luar spesies manusia, menangis
menjadi haram hukumnya.
Anak-anak
pun tumbuh dewasa sambil memendam perasaan. Dengan sadar atau tidak saling
kode-kodean. Baik pria maupun wanita ingin pihak lainnya menjadi dukun
seketika, yang tiba-tiba saja bisa membaca pikiran atau hatinya. Atau,
setidaknya menjadi ahli bahasa tubuh. Dan mereka tinggal membatin, “Tebak saja
deh dari gerakan dan ekspresiku, atau nada bicaraku”.
Jangankan
membaca lawan jenis, membaca yang sejenis saja kita akan sering terjatuh pada
asumsi dan sok tahu. Wajar bukan jika laki-laki menjadi susah membaca
perempuan, atau perempuan susah membaca laki-laki? Toh, membaca diri sendiri
pun mereka belum tentu mampu.
Apa
yang membuat memiliki perasaan dianggap memalukan? Sehingga, para laki-laki
menyebut dirinya harus dominan logika dan menyebut laki-laki yang berperasaan
cengeng dan cemen orangnya? Juga, apa yang membuat laki-laki menganggap dirinya
lebih tinggi dari perempuan karena merasa lebih logis tadi? Atau seringkali
menganggap perasaan perempuan sebagai suatu kerendahan dan kebodohan? Sementara
manusia itu memiliki keduanya, logika dan rasa.
Sekarang
jujur saja, bila perempuan tak berperasaan, apakah laki-laki masih suka?
Bukankah dari perasaan itulah perempuan menjadi sosok penyayang, yang
diharapkan para lelaki sebagai partner berkasih sayang.
Memang
sih logika biasanya dihubungkan dengan sesuatu yang benar. Namun, di dalam buku
Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat disebutkan bahwa kebenaran milik
kita bisa berubah. Karena kebenaran bagi tiap orang seringkali didasarkan
pengalaman. Padahal, pengalaman juga bisa keliru karena setiap orang memiliki
kebutuhan, sejarah, serta situasi hidup yang berbeda.
Otak memiliki setidaknya 2 masalah, yaitu
pertama, otak tidak sempurna dan ke dua, otak akan mempertahankan makna yang
kita ciptakan apapun yang terjadi. Apapun situasi kita saat ini akan dibuatnya
masuk akal berdasarkan keyakinan dan pengalaman kita sebelumnya. Setiap keping
informasi baru akan diukur berdasarkan nilai dan kesimpulan kita terdahulu.
Akibatnya, otak selalu bias terhadap apa yang kita anggap benar pada saat itu.
Pada
saat mengolah pengalaman, pikiran akan memprioritaskan diri untuk menafsirkan
pengalaman tersebut agar cocok dengan semua pengalaman, perasaan, dan keyakinan
kita sebelumnya. Namun, jika pengalaman kita saat ini bertentangan dengan apa
yang kita anggap benar dan masuk akal pada masa lalu, terkadang pikiran akan
menciptakan memori palsu agar cocok. Dengan demikian, makna apapun yang telah
kita buat dapat kita pertahankan.
Setiap
orang memiliki nilai-nilai tertentu dan melindungi nilai-nilai tersebut. Kita
mencoba untuk menghidupinya dan mencari pembenaran atasnya, serta merawatnya.
Bahkan, andai kita tidak bermaksud melakukannya, yang terjadi tetap demikian
karena begitulah cara kerja otak kita.
Di
dalam buku Mind Over Money disebutkan, pada otak terdapat amigdala.
Amigdala berfungsi mengatur respons kita terhadap trauma. Nah, karena jalur
neural dari amigdala menuju neokorteks (tempat alasan dan logika berada) lebih
kuat dibanding jalur dari neokorteks menuju amigdala, emosi-emosi yang
membentuk pikiran akan jauh lebih kuat dibanding pikiran yang membentuk emosi.
Inilah mengapa otak emosional menyimpan “kebenaran” yang tanpa sadar sering
berbohong tentang sejarah kita.
Disebutkan
dalam Descartes Error, neurologis Antonio Damasio pernah mengamati para
penderita cedera pada sebagian otak sehingga tidak memiliki emosi. Mereka masih
memiliki kemampuan kognitif dan hasil tes untuk mendeteksi masalah psikologis
cukup baik. Namun, mereka tidak memiliki respons sesungguhnya dalam berhubungan
dengan orang lain serta menjadi obsesif dan impulsif. Mereka tidak dapat
membedakan antara pekerjaan minor dan pekerjaan pokok, serta terlibat dalam
investasi tipuan, pernikahan gagal, dan berbagai pilihan impulsif yang buruk.
Bob,
salah satu pasien tersebut, tampak tidak memiliki kekhawatiran serta tidak
peduli orang lain. Sedangkan kurangnya hubungan dengan diri sendiri maupun
orang lain menurut hasil penelitian Gerdes berhubungan dengan pengeluaran atau
pertaruhan diri yang membahayakan kesehatan keuangan rumah tangga.
Tak
hanya itu, Bob juga sulit mengambil keputusan sederhana. Dalam mengambil
keputusan, peran emosi menyangkut 2 hal, pertama, emosi menolong kita
memproyeksikan diri ke dalam dunia dan memahami respons-respons orang lain.
Tanpa kemampuan merasakan emosi, Bob gagal mengenali petunjuk nonverbal yang
ditunjukkan. Ke dua, emosi memproduksi apa yang disebut Damasio Somatic
Marker (penanda somatik): “perasaan benar” yang sangat kita andalkan, baik
atau buruk, saat mengambil keputusan. Bekerja di bawah kesadaran, penanda
somatik merupakan rekaman mental mengenai pengalaman masa lalu yang bertindak
sebagai sistem pemandu internal. Penanda somatik membantu kita menuju atau
menjauhi pilihan tertentu, berdasarkan berhasil tidaknya pilihan-pilihan
tersebut pada masa lalu. Penanda somatik merupakan sumber firasat dan perasaan
benar kita.
Kegunaan
emosi lainnya adalah membiarkan kita “mencoba” kebiasaan-kebiasaan baru, melalui
imajinasi dan visualisasi, yang menolong kita memperkirakan apa yang akan kita
rasakan dari hasil sebuah keputusan, sebelum kita mengambilnya. Mengingat
sebagian besar kebijaksanaan kita berada di luar kesadaran kita pada satu
waktu, emosi kita memberi tahu secara mendalam, bahwa telah/akan terjadi
sesuatu yang salah. Artinya, jangan sepenuhnya meninggalkan emosi. Sebaliknya, emosi
harus disadari, dipahami, dan diperiksa seobjektif mungkin.
Emosi/perasaan
dan logika tak perlu dibandingkan karena keduanya kita butuhkan. Keduanya
membuat hidup kita menjadi lebih sehat, baik, indah, dan bahagia. Para
perempuan tak perlu malu menjadi makhluk yang berperasaan, begitupun laki-laki.
Demikian pula anak-anak, tidak perlu lagi harus menahan emosi. Mari kita
ajarkan kepada anak-anak untuk dapat mengelola dan mengekspresikan emosinya dengan
baik dan benar.
Kita
tidak bodoh, kita tidak lemah, kita membutuhkan perasaan karena kita manusia.
Terima Kasih mba Artikel nya.. Saya mulai sadar kembali akan penting nya mengekpresikan diri dan perasaan yang saya rasa.. Karna perasaan lah yang membuat hidup lebih bermakna dan bahagia.. Terimakasih . Semoga sukses
BalasHapus