Apa
jadinya bila manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai sesama makhluk hidup
memperebutkan kebutuhan dasar yang sama? Air misalnya. Bila cara mengelolanya
salah tentu saja salah satu atau beberapa dari mereka terpaksa dikorbankan,
yaitu berupa:
1. Mengorbankan
hewan
2. Mengorbankan
tumbuhan
3. Mengorbankan
manusia lain
Meskipun
persaingan/kompetisi antar makhluk hidup akan air bisa terjadi secara alami,
namun mengorbankan secara sengaja juga mungkin terjadi. Contoh nyatanya terjadi
pada kasus kekurangan pangan yang menimpa satwa di Kebun Binatang Bandung atau
Bandung Zoological Garden (Bazoga). Keterbatasan anggaran karena Covid-19
memaksa pengelola kebun binatang tersebut untuk merelakan rusa menjadi santapan
harimau sebagai opsi terakhir.
Pada
bumi sendiri, menurut The United States Geological Survey Water Science School,
71 persen dari permukaannya tertutup air. Namun, sekitar 97 persen dari air di
bumi berupa lautan, hanya 3 persen yang tidak mengandung garam. Dari 3 persen
tersebut, 69 persen dibekukan di es dan gletser dan 30 persen lainnya ada di
tanah. Hanya 0,26 persen air dunia yang ada di danau air tawar, dan hanya 0,001
persen dari seluruh air kita yang ada di atmosfer (Tempo.co, 22/3/2018).
Mirisnya,
sebagian dari 0,26 persen tersebut airnya tercemar, tidak layak dikonsumsi atau
digunakan. Alhasil persentase air yang dapat kita manfaatkan menjadi lebih
kecil lagi.
Sementara
jumlah air di bumi tetap, dan bahkan air yang layak pakai berkurang karena
pencemaran atau lainnya, jumlah populasi manusia terus meningkat. Worldometers
mencatat jumlah penduduk dunia pada 2019 mencapai 7,7 miliar jiwa, meningkat
dari tahun sebelumnya yang hanya 7,6 miliar jiwa. Oleh karena itu, persaingan
antara sesama makhluk hidup dalam mendapatkan air dan tempat menjadi tak
terelakkan.
Sebagai
gambaran, beberapa daerah di Indonesia yang masih mengalami kekeringan di
antaranya meliputi (data dari Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 22 November 2019):
99
desa di 21 kecamatan di TTU, NTT
60
desa di 15 kecamatan di Alor, NTT
27
desa 8 kecamatan di Flotim, NTT
24
Desa 6 kecamatan Kabupaten Pati, Jateng
2
Desa di Kabupaten Kendal, Jateng
12
Kecamatan di Kabupaten Cirebon, Jabar
25
Desa di 8 Kecamatan di Kabupaten Brebes, Jateng
7
Desa di 3 Kecamatan Kabupaten Karangasem, Bali (Tekno.tempo.co, 23/11/2019)
Jadi,
masih sangat banyak.
Kebutuhan
akan Air di Masa Pandemik
Hans
Rosling, dalam buku Factfulness, telah memperingatkan adanya 6 risiko
global yang perlu kita khawatirkan, yaitu:
1. Pandemik global (global pandemic),
2. Keruntuhan keuangan (financial collaps),
3. Perang dunia III (world war III),
4. Perubahan iklim (climate change),
5. Kemiskinan ekstrem (extreme poverty),
dan
6. Tidak
diketahui (unknown unknown).
Saat
ini kita telah berada pada masa pandemik global sekaligus perubahan iklim yang
terus berproses. Perubahan iklim ini memicu pemanasan global, yang berdampak
pada munculnya lapisan es di kutub dan puncak gunung salju, kenaikan suhu dan
tinggi permukaan air laut, meningkatnya suhu di sejumlah kota di Indonesia,
cuaca ekstrem dan kekeringan yang panjang, serta munculnya berbagai hama dan
penyakit tanaman (In.ideanation).
Seperti
kita ketahui, pandemik global dan perubahan iklim secara terpisah sudah sangat
merepotkan dan membebani, bagaimana jika keduanya terjadi bersamaan? Apalagi,
kedua hal ini juga berkaitan erat dengan keruntuhan keuangan, kemiskinan
ekstrem, bahkan mungkin juga Perang Dunia III dan “risiko yang tidak
diketahui”.
Pada
kondisi normal (tanpa pandemik), kehidupan manusia sudah sangat berhubungan
dengan air. Kita membutuhkan air untuk minum, memasak, mencuci, mandi, media
transportasi, dan lain-lain. Bahkan, tubuh manusia terdiri atas 75 persen air,
otak manusia terdiri atas 85 persen air, di dalam sel-sel tubuh idealnya
terdapat 75 persen air, dan dalam kondisi terhidrasi penuh normalnya 94 persen
dari darah berupa air. Secara khusus, F. Batmanghelidj, M.D., di dalam buku Air
untuk Menjaga Kesehatan dan Menyembuhkan Penyakit, memaparkan bila kita
kekurangan air kita bisa menderita berbagai penyakit.
Jangan
lupakan pula mengenai penyakit-penyakit lain seperti diare dan pneumonia
sebagai penyebab kematian tertinggi pada anak, Covid-19, serta penyakit mata,
penyakit perut, kecacingan, dan flu yang bisa berawal dari tangan yang kotor. Semua
penyakit ini berhubungan dengan air, baik meliputi sanitasi atau higienitasnya,
maupun cukup tidaknya air yang diminum dalam memenuhi kebutuhan tubuh.
Kekeringan (Sumber: Pixabay) |
Di
antara penyakit-penyakit yang bisa dicegah/diminimalisir dengan mencuci tangan
menggunakan sabun, Covid-19 adalah salah satunya. Pada masa pandemik seperti
sekarang, orang-orang menjadi sering mencuci tangan karena takut tertular
Covid-19. Hal ini menjadi tantangan juga di tengah kondisi Indonesia yang
semakin rawan air.
Jadi,
mulai saat ini kita tak boleh cuek lagi. Harus peduli. Kecuali jika kita mau
menjadi dehidrasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan air sehari-hari, pemilikan
air sangat dibatasi, atau terpaksa menggunakan air yang tidak layak untuk
konsumsi atau non konsumsi. Sudah ada buktinya, misalnya pada warga Banjar
Pendem desa Manistutu kecamatan Melaya kabupaten Jembrana Bali, mereka harus
rela berjalan pulang pergi 10 kilometer hanya untuk mencari air di sebuah
kubangan.
Tidak
mau kan seperti mereka?
Oleh
karena itu, mari perhatikan prinsip-prinsip pengelolaan air di bawah ini untuk
memperbaiki ketersediaan air bersih dan menurunkan laju krisis air bersih atau
kelangkaan air di Indonesia:
1. Hindari
eksploitasi air berlebihan,
2. Jaga
jangan sampai air bersih yang tersisa tercemar atau berkurang,
Keberadaan air sudah terbatas, jangan sampai air
yang masih tersedia ini berkurang karena pencermaran.
3. Atur
jumlah manusia dan makhluk lain dalam negara, misalnya berupa:
a. Mengatur
jumlah kelahiran
b. Mengatur
jumlah imigran
Kondisi
ini bisa diterapkan jika sangat terpaksa/genting.
4. Memulihkan
air yang tercemar,
Bila
memungkinkan, memulihkan air yang tercemar merupakan langkah yang baik.
5. Mengatur
pendistribusian dan pemerataan air, bila sangat kritis setiap rumah perlu
dijatah kebutuhan airnya,
6. Mengutamakan
air untuk kebutuhan primer dulu dan menghentikan atau meminimalkan penggunaan
untuk kebutuhan sekunder dan tersier,
7. Mewajibkan
setiap rumah dan setiap kantor/industri untuk membuat biopori, sumur resapan,
atau semacamnya,
Mari
kita belajar dari Desa Patemon dalam mengatasi kekeringan/kekurangan air di
daerahnya dengan membuat biopori, sumur resapan, atau semacamnya. Program
pembuatan biopori dan sumur resapan tersebut pelaksanaannya dikuatkan dengan Peraturan
Desa atau Perdes No. 3 tahun 2015
tentang Tata Kelola Sumber Daya Air sehingga semakin mengikat warga. Dalam
Perdes ditetapkan bahwa setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan
wajib membangun sumur resapan secara swadaya. Bahkan, perusahaan yang
mendirikan pabrik di Patemon juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20
meter kubik. Hasilnya, sejak 2014 warga Desa Patemon tak lagi mengalami
kelangkaan air.
Pemanasan global (Sumber: Ideanation) |
8. Menjalankan
pembangunan yang berwawasan lingkungan, termasuk terhadap industri properti.
Properti
yang ada dewasa ini banyak yang kurang memperhatikan lingkungan. Misalnya di
Amuntai, di kanan-kiri jalan bukit-bukit digali, diambil tanahnya untuk
menimbun rawa di pinggir jalan. Rumah-rumah panggung itu sudah berubah menjadi
rumah “modern” (landed house), tidak memanfaatkan arsitektur asli yang
berupa rumah panggung. Sehingga daerah sana menjadi sering banjir.
Ada
juga praktek lain berupa land clearing (cut & fill),
mengabaikan kontur asli daerah tersebut. Padahal, banyak properti-properti yang
memanfaatkan kontur dan pepohonan alami yang malah bernilai sangat tinggi.
Belum selesai sampai di situ, setelah “meratakan”, pengembang akan mulai
membangun infrastruktur. Dengan cara menutup dengan semen, beton, atau aspal,
sehingga tiada lagi resapan air. Jika pengembang membangung cluster rumah
seluas 5.000 meter saja, maka setidaknya dia telah menutup resapan air seluas
4.000 meter atau lebih. Ketiadaan area resapan air tanah ini menyebabkan tidak
ada lagi proses infiltrasi. Yaitu perjalanan air ke dalam tanah sebagai akibat
gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan ke arah
vertikal). Air yang meresap ke dalam tanah sebagian akan tertahan oleh
partikel-partikel tanah dan menguap kembali ke atmosfer, sebagian lagi diserap
oleh tumbuhan dan yang lain akan terus meresap di bawah permukaan bumi hingga
zona yang terisi air yaitu zona saturasi.
Air
yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian tersimpan di bawah permukaan bumi
yang impermeabel (tak dapat ditembus oleh air) sehingga disebut air tanah.
Hal
ini menyebabkan pada musim kemarau daerah tersebut kekurangan air, sedangkan
pada musim penghujan terjadi banjir.
9. Mewajibkan
semua industi untuk menerapkan nol limbah (zero waste),
10. Menegakkan
aturan-aturan yang selama ini sudah ada, baik, dan tepat,
Air bekas tambang batu bara (Dok. Theresia Jari/Jatam Kaltim dalam Tribunnews) |
11. Mewaspadai
dan segera menangani pencemaran air, kerusakan air, atau pemborosan air dalam
jumlah besar, yang berasal dari:
a. Bekas
tambang,
b. Limbah
deterjen dan pupuk/bahan-bahan kimia pertanian/limbah-limbah perikanan karamba,
c. Limbah-limbah
minyak atau bahan-bahan lain yang sulit terurai,
d. Kebocoran
air pada pipa-pipa PDAM,
e. Ancaman
bahaya alami maupun buatan semacam kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo,
f. Kolam
renang-kolam renang wahana wisata air, industri pariwisata termasuk perhotelan,
mal, apartemen, dan hal-hal semacamnya yang kurang penting/sekadar hiburan.
Hasil
riset dari Eko Teguh Paripurno, Peneliti Penanggulangan Bencana dari
Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, menegaskan bahwa pembangunan
hotel, mal, dan sejenisnya di Yogyakarta rentan memicu krisis air. Contohnya
adalah
pembangunan
Fave Hotel di Miliran dan Hotel 1O1 di Gowongan yang berdampak pada
mengeringnya air sumur warga.
Bali,
sebagai salah satu ikon wisata terkenal di Indonesia juga tak luput dari
dampaknya. Dr. Stroma Cole, dosen senior Geography and Environmental Management
University of The West of England bahkan telah meramalkan krisis air di Bali
akan terjadi pada 2020-2025, jika tak ada aksi nyata dalam penyadaran,
konservasi, dan koordinasi kebijakan. “Tourism in Bali is killing people,” paparnya,
Selasa (14/4/15).
12. Mensosialisasikan
dan menerapkan kebiasaan hemat air/bijak dalam mengelola dan memanfaatkan air,
13. Jangan
menurunkan kebutuhan air pada tanaman, karena andai tanaman tersebut kita
konsumsi buahnya, maka kandungan air pada buah tersebut juga akan berkurang/rendah,
14. Carilah
suatu teknologi/buatlah inovasi tentang penghematan air pada benda-benda mati
saja,
15. Jangan
mengencingi air yang tidak mengalir, jangan pula melakukan pencemaran dalam
bentuk lain,
16. Carilah
cara untuk mencegah dan mengatasi pencemaran dan pemborosan air, lalu
sosialisasikan pada para pelakunya, misalnya limbah-limbah industri batik atau
lainnya.
Situasi
sudah semakin kritis, masihkah kita tak mau peduli? Kalau tidak diperbaiki
sejak sekarang, kapan lagi? Jangan sampai terlambat dan menyesal?
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan
iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan
Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan
Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini (beri
link artikel persyaratan ini)
Sumber:
https://tekno.tempo.co/read/1071944/hari-air-sedunia-2018-ini-12-fakta-mencengangkan-soal-air/full&view=ok
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/10/jumlah-penduduk-dunia-pada-2019-capai-77-miliar-jiwa
https://www.merdeka.com/peristiwa/dampak-covid-19-kebun-binatang-bandung-akan-potong-rusa-untuk-makanan-macan.html
http://www.beritalingkungan.com/2020/03/cerita-dari-desa-patemon-tak-biarkan.html
Http://masyarakattanpariba.com/mtr/bisnis-syariah-bukan-sekedar-tanpa-riba/
https://tirto.id/ironi-sleman-warga-krisis-air-di-tengah-geliat-bisnis-hotel-mal-ep4w
https://www.mongabay.co.id/2015/04/15/bali-terancam-krisis-air-mengapa/
https://tekno.tempo.co/read/1275398/sebagian-indonesia-masih-mengalami-kekeringan-hingga-november
Batmanghelidj,
F, M.D. 2007. Air untuk Menjaga Kesehatan dan Menyembuhkan Penyakit.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.