07 Juni 2020

Krisis Air Semakin Menggila, Saatnya Berbenah

Krisis Air Semakin Menggila, Saatnya Berbenah

Apa jadinya bila manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai sesama makhluk hidup memperebutkan kebutuhan dasar yang sama? Air misalnya. Bila cara mengelolanya salah tentu saja salah satu atau beberapa dari mereka terpaksa dikorbankan, yaitu berupa:
1.    Mengorbankan hewan
2.    Mengorbankan tumbuhan
3.    Mengorbankan manusia lain

Meskipun persaingan/kompetisi antar makhluk hidup akan air bisa terjadi secara alami, namun mengorbankan secara sengaja juga mungkin terjadi. Contoh nyatanya terjadi pada kasus kekurangan pangan yang menimpa satwa di Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoological Garden (Bazoga). Keterbatasan anggaran karena Covid-19 memaksa pengelola kebun binatang tersebut untuk merelakan rusa menjadi santapan harimau sebagai opsi terakhir.

Pada bumi sendiri, menurut The United States Geological Survey Water Science School, 71 persen dari permukaannya tertutup air. Namun, sekitar 97 persen dari air di bumi berupa lautan, hanya 3 persen yang tidak mengandung garam. Dari 3 persen tersebut, 69 persen dibekukan di es dan gletser dan 30 persen lainnya ada di tanah. Hanya 0,26 persen air dunia yang ada di danau air tawar, dan hanya 0,001 persen dari seluruh air kita yang ada di atmosfer (Tempo.co, 22/3/2018).

Mirisnya, sebagian dari 0,26 persen tersebut airnya tercemar, tidak layak dikonsumsi atau digunakan. Alhasil persentase air yang dapat kita manfaatkan menjadi lebih kecil lagi.

Sementara jumlah air di bumi tetap, dan bahkan air yang layak pakai berkurang karena pencemaran atau lainnya, jumlah populasi manusia terus meningkat. Worldometers mencatat jumlah penduduk dunia pada 2019 mencapai 7,7 miliar jiwa, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 7,6 miliar jiwa. Oleh karena itu, persaingan antara sesama makhluk hidup dalam mendapatkan air dan tempat menjadi tak terelakkan.

Sebagai gambaran, beberapa daerah di Indonesia yang masih mengalami kekeringan di antaranya meliputi (data dari Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 22 November 2019):

99 desa di 21 kecamatan di TTU, NTT
60 desa di 15 kecamatan di Alor, NTT
27 desa 8 kecamatan di Flotim, NTT
24 Desa 6 kecamatan Kabupaten Pati, Jateng
2 Desa di Kabupaten Kendal, Jateng
12 Kecamatan di Kabupaten Cirebon, Jabar
25 Desa di 8 Kecamatan di Kabupaten Brebes, Jateng
7 Desa di 3 Kecamatan Kabupaten Karangasem, Bali (Tekno.tempo.co, 23/11/2019)
Jadi, masih sangat banyak.


Kebutuhan akan Air di Masa Pandemik

Krisis Air Semakin Menggila, Saatnya Berbenah


Hans Rosling, dalam buku Factfulness, telah memperingatkan adanya 6 risiko global yang perlu kita khawatirkan, yaitu:
1.    Pandemik global (global pandemic),
2.    Keruntuhan keuangan (financial collaps),
3.    Perang dunia III (world war III),
4.    Perubahan iklim (climate change),
5.    Kemiskinan ekstrem (extreme poverty), dan
6.    Tidak diketahui (unknown unknown).

Saat ini kita telah berada pada masa pandemik global sekaligus perubahan iklim yang terus berproses. Perubahan iklim ini memicu pemanasan global, yang berdampak pada munculnya lapisan es di kutub dan puncak gunung salju, kenaikan suhu dan tinggi permukaan air laut, meningkatnya suhu di sejumlah kota di Indonesia, cuaca ekstrem dan kekeringan yang panjang, serta munculnya berbagai hama dan penyakit tanaman (In.ideanation).

Seperti kita ketahui, pandemik global dan perubahan iklim secara terpisah sudah sangat merepotkan dan membebani, bagaimana jika keduanya terjadi bersamaan? Apalagi, kedua hal ini juga berkaitan erat dengan keruntuhan keuangan, kemiskinan ekstrem, bahkan mungkin juga Perang Dunia III dan “risiko yang tidak diketahui”.

Pada kondisi normal (tanpa pandemik), kehidupan manusia sudah sangat berhubungan dengan air. Kita membutuhkan air untuk minum, memasak, mencuci, mandi, media transportasi, dan lain-lain. Bahkan, tubuh manusia terdiri atas 75 persen air, otak manusia terdiri atas 85 persen air, di dalam sel-sel tubuh idealnya terdapat 75 persen air, dan dalam kondisi terhidrasi penuh normalnya 94 persen dari darah berupa air. Secara khusus, F. Batmanghelidj, M.D., di dalam buku Air untuk Menjaga Kesehatan dan Menyembuhkan Penyakit, memaparkan bila kita kekurangan air kita bisa menderita berbagai penyakit.

Jangan lupakan pula mengenai penyakit-penyakit lain seperti diare dan pneumonia sebagai penyebab kematian tertinggi pada anak, Covid-19, serta penyakit mata, penyakit perut, kecacingan, dan flu yang bisa berawal dari tangan yang kotor. Semua penyakit ini berhubungan dengan air, baik meliputi sanitasi atau higienitasnya, maupun cukup tidaknya air yang diminum dalam memenuhi kebutuhan tubuh.

Kekeringan (Sumber: Pixabay)
Di antara penyakit-penyakit yang bisa dicegah/diminimalisir dengan mencuci tangan menggunakan sabun, Covid-19 adalah salah satunya. Pada masa pandemik seperti sekarang, orang-orang menjadi sering mencuci tangan karena takut tertular Covid-19. Hal ini menjadi tantangan juga di tengah kondisi Indonesia yang semakin rawan air.

Jadi, mulai saat ini kita tak boleh cuek lagi. Harus peduli. Kecuali jika kita mau menjadi dehidrasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan air sehari-hari, pemilikan air sangat dibatasi, atau terpaksa menggunakan air yang tidak layak untuk konsumsi atau non konsumsi. Sudah ada buktinya, misalnya pada warga Banjar Pendem desa Manistutu kecamatan Melaya kabupaten Jembrana Bali, mereka harus rela berjalan pulang pergi 10 kilometer hanya untuk mencari air di sebuah kubangan.

Tidak mau kan seperti mereka?

Oleh karena itu, mari perhatikan prinsip-prinsip pengelolaan air di bawah ini untuk memperbaiki ketersediaan air bersih dan menurunkan laju krisis air bersih atau kelangkaan air di Indonesia:
1.    Hindari eksploitasi air berlebihan,
2.    Jaga jangan sampai air bersih yang tersisa tercemar atau berkurang,
Keberadaan air sudah terbatas, jangan sampai air yang masih tersedia ini berkurang karena pencermaran.
3.    Atur jumlah manusia dan makhluk lain dalam negara, misalnya berupa:
a.       Mengatur jumlah kelahiran
b.      Mengatur jumlah imigran
Kondisi ini bisa diterapkan jika sangat terpaksa/genting.
4.    Memulihkan air yang tercemar,
Bila memungkinkan, memulihkan air yang tercemar merupakan langkah yang baik.
5. Mengatur pendistribusian dan pemerataan air, bila sangat kritis setiap rumah perlu dijatah kebutuhan airnya,
6. Mengutamakan air untuk kebutuhan primer dulu dan menghentikan atau meminimalkan penggunaan untuk kebutuhan sekunder dan tersier,
7.    Mewajibkan setiap rumah dan setiap kantor/industri untuk membuat biopori, sumur resapan, atau semacamnya,
Mari kita belajar dari Desa Patemon dalam mengatasi kekeringan/kekurangan air di daerahnya dengan membuat biopori, sumur resapan, atau semacamnya. Program pembuatan biopori dan sumur resapan tersebut pelaksanaannya dikuatkan dengan Peraturan Desa atau Perdes  No. 3 tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air sehingga semakin mengikat warga. Dalam Perdes ditetapkan bahwa setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan wajib membangun sumur resapan secara swadaya. Bahkan, perusahaan yang mendirikan pabrik di Patemon juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik. Hasilnya, sejak 2014 warga Desa Patemon tak lagi mengalami kelangkaan air.
Krisis Air Semakin Menggila, Saatnya Berbenah
Pemanasan global (Sumber: Ideanation)
 
8.    Menjalankan pembangunan yang berwawasan lingkungan, termasuk terhadap industri properti.
Properti yang ada dewasa ini banyak yang kurang memperhatikan lingkungan. Misalnya di Amuntai, di kanan-kiri jalan bukit-bukit digali, diambil tanahnya untuk menimbun rawa di pinggir jalan. Rumah-rumah panggung itu sudah berubah menjadi rumah “modern” (landed house), tidak memanfaatkan arsitektur asli yang berupa rumah panggung. Sehingga daerah sana menjadi sering banjir.
Ada juga praktek lain berupa land clearing (cut & fill), mengabaikan kontur asli daerah tersebut. Padahal, banyak properti-properti yang memanfaatkan kontur dan pepohonan alami yang malah bernilai sangat tinggi. Belum selesai sampai di situ, setelah “meratakan”, pengembang akan mulai membangun infrastruktur. Dengan cara menutup dengan semen, beton, atau aspal, sehingga tiada lagi resapan air. Jika pengembang membangung cluster rumah seluas 5.000 meter saja, maka setidaknya dia telah menutup resapan air seluas 4.000 meter atau lebih. Ketiadaan area resapan air tanah ini menyebabkan tidak ada lagi proses infiltrasi. Yaitu perjalanan air ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan ke arah vertikal). Air yang meresap ke dalam tanah sebagian akan tertahan oleh partikel-partikel tanah dan menguap kembali ke atmosfer, sebagian lagi diserap oleh tumbuhan dan yang lain akan terus meresap di bawah permukaan bumi hingga zona yang terisi air yaitu zona saturasi.
Air yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian tersimpan di bawah permukaan bumi yang impermeabel (tak dapat ditembus oleh air) sehingga disebut air tanah.
Hal ini menyebabkan pada musim kemarau daerah tersebut kekurangan air, sedangkan pada musim penghujan terjadi banjir.
9. Mewajibkan semua industi untuk menerapkan nol limbah (zero waste),
10. Menegakkan aturan-aturan yang selama ini sudah ada, baik, dan tepat,

Krisis Air Semakin Menggila, Saatnya Berbenah
Air bekas tambang batu bara (Dok. Theresia Jari/Jatam Kaltim dalam Tribunnews)

11. Mewaspadai dan segera menangani pencemaran air, kerusakan air, atau pemborosan air dalam jumlah besar, yang berasal dari:
a.       Bekas tambang,
b.      Limbah deterjen dan pupuk/bahan-bahan kimia pertanian/limbah-limbah perikanan karamba,
c.       Limbah-limbah minyak atau bahan-bahan lain yang sulit terurai,
d.      Kebocoran air pada pipa-pipa PDAM,
e.       Ancaman bahaya alami maupun buatan semacam kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo,
f.       Kolam renang-kolam renang wahana wisata air, industri pariwisata termasuk perhotelan, mal, apartemen, dan hal-hal semacamnya yang kurang penting/sekadar hiburan.
Hasil riset dari Eko Teguh Paripurno, Peneliti Penanggulangan Bencana dari Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, menegaskan bahwa pembangunan hotel, mal, dan sejenisnya di Yogyakarta rentan memicu krisis air. Contohnya adalah
pembangunan Fave Hotel di Miliran dan Hotel 1O1 di Gowongan yang berdampak pada mengeringnya air sumur warga.
Bali, sebagai salah satu ikon wisata terkenal di Indonesia juga tak luput dari dampaknya. Dr. Stroma Cole, dosen senior Geography and Environmental Management University of The West of England bahkan telah meramalkan krisis air di Bali akan terjadi pada 2020-2025, jika tak ada aksi nyata dalam penyadaran, konservasi, dan koordinasi kebijakan. “Tourism in Bali is killing people,” paparnya, Selasa (14/4/15).

12. Mensosialisasikan dan menerapkan kebiasaan hemat air/bijak dalam mengelola dan memanfaatkan air,
13. Jangan menurunkan kebutuhan air pada tanaman, karena andai tanaman tersebut kita konsumsi buahnya, maka kandungan air pada buah tersebut juga akan berkurang/rendah,
14.    Carilah suatu teknologi/buatlah inovasi tentang penghematan air pada benda-benda mati saja,
15. Jangan mengencingi air yang tidak mengalir, jangan pula melakukan pencemaran dalam bentuk lain,
16. Carilah cara untuk mencegah dan mengatasi pencemaran dan pemborosan air, lalu sosialisasikan pada para pelakunya, misalnya limbah-limbah industri batik atau lainnya.

Situasi sudah semakin kritis, masihkah kita tak mau peduli? Kalau tidak diperbaiki sejak sekarang, kapan lagi? Jangan sampai terlambat dan menyesal?



Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini (beri link artikel persyaratan ini) 


Sumber:
https://tekno.tempo.co/read/1071944/hari-air-sedunia-2018-ini-12-fakta-mencengangkan-soal-air/full&view=ok
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/10/jumlah-penduduk-dunia-pada-2019-capai-77-miliar-jiwa
https://www.merdeka.com/peristiwa/dampak-covid-19-kebun-binatang-bandung-akan-potong-rusa-untuk-makanan-macan.html
http://www.beritalingkungan.com/2020/03/cerita-dari-desa-patemon-tak-biarkan.html
Http://masyarakattanpariba.com/mtr/bisnis-syariah-bukan-sekedar-tanpa-riba/
https://tirto.id/ironi-sleman-warga-krisis-air-di-tengah-geliat-bisnis-hotel-mal-ep4w
https://www.mongabay.co.id/2015/04/15/bali-terancam-krisis-air-mengapa/
https://tekno.tempo.co/read/1275398/sebagian-indonesia-masih-mengalami-kekeringan-hingga-november
Batmanghelidj, F, M.D. 2007. Air untuk Menjaga Kesehatan dan Menyembuhkan Penyakit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.