Sebagian
orang salah fokus dengan menganggap orang lain saingannya. Tak harus sebidang,
kadang orang dari bidang lain pun menjadi sasaran. Apalagi jika mereka selokasi.
Masalahnya,
berpusat pada orang lain menyebabkan pembandingan/pengukuran dan dekat dengan
iri, dengki, imposter syndrome, perfeksionisme, serta ketidakpuasan atau
ketidakbahagiaan. Dan semua ini bisa bermula dari pembandingan oleh orangtua,
pengasuh, guru, atau lainnya saat mereka masih kecil. Mereka dibandingkan
fisiknya, prestasinya, sifatnya, dan sebagainya dengan anak lain, padahal
sesama anak tadinya tidak saling bersaing.
Membandingkan
diri kita dengan orang lain sangat tidak fair. Mengapa? Karena faktor-faktor
pembentuk diri kita berbeda. Bisa karena faktor gen/bakat, pola asuh, ekonomi,
ketersediaan sumber daya, lingkungan, dan berbagai faktor pendukung atau
penghambat lainnya. Mungkin juga start atau kecepatan kita yang berbeda.
Siapa yang tahu?
Sayangnya,
orang suka menganggap orang-orang tertentu seperti Si A atau Si B sebagai
saingannya. Padahal, jika A atau B tidak ada, belum tentu kita yang menempati
posisinya. Ketika posisi itu kosong, kita kembali memperebutkannya secara bebas
dengan orang lain. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada orangnya, alihkan
fokus pada keahlian atau keunggulannya. Andaipun masih mau melihat Si A atau B,
gunakan sebagai parameter saja, walau tetap tak dianjurkan.
Sekarang,
misalkan kita tahu Si A memiliki kelebihan X. Selain A memang berbakat, ia
sudah berlatih sejak kecil dan pendidikannya memang di situ. Sehingga, walaupun
kita tahu Si A kelebihannya X belum tentu kita bisa memiliki kelebihan itu juga,
apalagi menyainginya. Kita memerlukan kelebihan dari keunikan kita pribadi yang
memang secara alami menonjol dari orang lain.
Orang
suka membanding-bandingkan kita dengan dirinya atau orang lain. Seolah tak ada
habisnya, perbandingannya tidak berhenti pada dia, orang lain pun dibandingkan
dengan kita. Tetapi, siapa sih bisa unggul segalanya? Bisa menang dari semua
orang di dunia? Memiliki apa saja? Tidak ada, karena Tuhan meletakkan kesempurnaan
hanya ada pada diri-Nya.
Sebenarnya,
mungkin kita sudah bertumbuh, tetapi karena kita terus membandingkan
diri/dibandingkan dengan orang lain, kita seolah tidak ada apa-apanya. Kita
menjadi terlalu keras pada diri sendiri, kurang bersyukur, kurang bersabar,
mengalami imposter syndrome (sudah melakukan yang terbaik tetapi terus
melihat diri sendiri kurang), self esteem rendah, serta tidak puas dan
tidak bahagia. Kalau kita bisa begitu toleran dan penuh kasih sayang kepada
orang lain, mengapa pada diri sendiri malah tidak bisa mengasihi dan
menyayangi?
Bukan
cuma itu, bersaing dengan orang lain juga terkait dengan iri dengki. Entah
mengapa ada orang-orang tertentu yang seperti merasa kebaikan dan kebahagiaan
itu terbatas. Sehingga, jika Si A bisa naik jabatan, rekreasi ke luar negeri,
memiliki anak, membeli mobil baru, dan lain-lain seolah membuat dia tidak
kebagian kebaikan/kebahagiaan. Seolah Tuhan hanya menciptakan satu itu dan
sudah diambil oleh Si A tadi. Ini aneh, karena Tuhan Maha Kaya, sumber kebaikan
dan kebahagiaan itu ada di mana-mana dan mencukupi seluruh manusia atau seluruh
makhluk sekalipun.
Sebagai
penutup, barangkali ada di antara kita yang pernah menonton video di Instagram
tentang pertandingan antara kelinci dan kura-kura. Tak disangka, kura-kuralah
pemenangnya. Mengapa? Meskipun tak secepat kelinci, ternyata kura-kura berfokus
dan bersaing dengan diri sendiri. Sebaliknya, kelinci sibuk menoleh pada kura-kura.
Menjadi
diri sendiri yang lebih baik dari waktu ke waktu akan membuat kita lebih
menikmati perjalanan dan lebih tenang. Bukan berarti bermalas-malasan, tetapi
mampu mengukur kemampuan diri. Setelah itu, kita dapat menetapkan target
pribadi dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencapainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.