10 Desember 2021

Review Buku "Option B"

 


Aku menggambarkan "Option B" sebagai buku yang sangat luar biasa. Bahkan, sebelum aku menyadari kalau Sheryl Sandberg, penulisnya ini, adalah number 1 New York Times Best-Selling Authors (baru nyadar waktu posting cover bukunya di artikel ini, di bagian awal-awal yang sempat kubaca dan kuingat cuma Sheryl itu penulis dan Adam itu psikolognya). 


Tapi sih ya, sebagai orang yang hobi baca plus penulis juga, aku bisa bedain lah ya mana tulisan expert dan mana yang tidak. 


"Option B" ini buku yang sangat berperasaan. Sheryl mampu menggugah emosi pembaca sampai yang terdalam. Dia mengajarkanmu cara berperasaan, berempati, dan terhubung dengan orang lain secara intim. Intimacy dan closeness itu dapat banget di buku ini. Yah walaupun isinya nggak sesuai ekspektasiku, yang mungkin lebih logis. Aku mencari sesuatu seperti opsi lain apa yang tersedia, cara memilih opsi, kapan saatnya tetap di opsi A atau pindah ke opsi B, dan semacamnya.


Tetapi membaca buku ini bukannya tidak berarti, aku malah merasa perasaanku ikut terbawa. Kisah-kisah jujurnya tentang pikiran dan perasaannya yang terdalam akan pengalaman-pengalaman hidupnya itu membuatku merasa nggak sendiri, seperti melihat kebenaran orang lain. Keberanian dia untuk bercerita tentang hal-hal yang vulnerable ditambah dengan kepiawaian penulisnya dalam merangkai kata membuat buku ini begitu humanis. 


Apa ya? Buku ini itu semacam biografi atau novel gitu lah ya isinya atau cara menulisnya. Sangat ekspresif, dramatis, dan humanis. Dari gaya menulisnya, Sheryl sepertinya ahli menulis fiksi juga. Di sisi lain, karena ditulis dengan gaya novel dan sangat detail dalam mendeskripsikan perasaan dan hampir apa saja, aku mudah lelah dan bosan. Kecepatannya dalam menuju hal-hal inti/poin-poinnya itu terlalu lambat bagiku, yang umumnya lebih suka ke-to the point-an non fiksi. Seperti bertele-tele. Tapi itu hanya masalah selera pribadi ya.


Jadi, apa sih isi buku ini? Isinya itu Sheryl bersedih dan sangat hancur atas meninggalnya suaminya, lalu dia bertemu Adam Grant, yang psikolog ini, yang kemudian menginspirasi dan membangun Sheryl untuk bangkit kembali. Di titik itu Sheryl memperoleh kesadaran yang baru akan makna connectness dan empati dengan sesama, lalu dia semakin menumbuhkan dan menebarkan kesadaran itu pada orang lain. Semua ini dihubungkan dengan berbagai pengalaman hidupnya sehingga kadang isinya terkesan meloncat-loncat.


Sheryl nggak malu atau jaim cerita tentang perasaan-perasaannya saat terjadi pergulatan di hidupnya dan hal-hal humanis seperti ini dalam jurnalistik/psikologi/marketing sangat disukai orang lain karena manusia itu cenderung kepo dengan sesuatu yang berhubungan dengan manusia yang lain. 


Kalau kamu sedang butuh dukungan perasaan, psikologis, atau emosional, misalnya saat kamu sakit, gagal, kehilangan orang yang kamu sayangi, dan semacamnya kamu cocok banget baca buku ini. Buku ini akan sangat menghiburmu, berempati padamu, mendukungmu, sekaligus menginspirasi dan memotivasimu untuk bangkit, berbahagia kembali, dan bisa menjalani hidupmu lagi dengan opsi B/opsi yang baru.

Membaca buku ini sangat menyentuh hatiku. Sungguh. 

Di era orang-orang semakin banyak yang dingin dan diskonek seperti saat ini, kita butuh orang-orang yang lebih berperasaan dan berpemahaman tinggi seperti Sheryl ini. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.