Sumber: IG kajianfiqhpernikahan.id
Milik ustaz Ahmad Tarigan
(Utk pot. videonya bisa dengerin di IG tsb, untuk utuhnya bisa ikut kursus beliau)
Wanita Selalu Salah
Wanita selalu salah (baca: disalahkan). Bahkan, sekali-kalinya dia memprotes, kalimat “Wanita selalu benar”-lah yang akan mereka dapati. Sehingga, mungkin seumur hidupnya wanita harus menerima dirinya sebagai pihak yang salah dan penuh kekurangan di mana-mana.
Mulai dari sifat wanita yang konon dominan perasa (dan disamakan dengan bodoh), sampai dengan penyerupaan wanita sebagai tulang yang bengkok dan kodratnya sebagai makmum. Sebagai tulang yang bengkok, siapapun wanitanya pasti lebih buruk dari pria, siapapun prianya. Begitupun sebagai makmum, siapapun wanitanya harus tunduk pada siapapun prianya. Seolah-olah semua kualitas wanita di bawah pria dan semua kualitas pria di atas wanita (generalisasi).
Para pria dan ustaz-ustaz sering menyampaikan dualisme. Pada akun-akun Instagram misalnya, setiap ada postingan video pengantin wanita malu-malu seperti tak pernah tersentuh pria, pria-pria pada memujanya dan menginginkan wanita seperti itu. Ironisnya, saya pernah menemukan ceramah ustaz menyuruh wanita dengan hinanya, “Istri itu harus agresif pada suami, seperti PELAC*R.” Ya kali wanita yang sangat pemalu jadi agresif, seperti pelac*r pula. Menyakitkan sekali dibandingkan, apalagi dengan wanita seperti itu. Sangat kekanakan, masa tidak tahu hidup itu pilihan. Jangan nyuruh-nyuruh wanita pemalu jadi seperti itu, sekalian saja Anda menikah dengan PELAC*R, dan lupakan tentang wanita yang malu-malu. Mereka memiliki paket yang berbeda.
Pada kasus-kasus lain kita mungkin akan menemukan istri-istri itu akan dicap buruk jika suaminya itu sakit atau mandul lalu istri tersebut minta cerai. Begitupun jika dirinya (istri) berselingkuh. Sementara jika suaminya yang berselingkuh, sakit, atau mandul, hal itu akan dibesar-besarkan sebagai “istri nusyuz” atau suami bisa memilih bercerai atau poligami. Sialnya, nama suami tetap bersih, dibilang jatahnya 4, kalau suami yang naksir wanita selain istrinya boleh sedangkan kalau wanita lajang yang naksir suami orang tidak boleh, atau dalih-dalih lain semacam agar memiliki keturunan, mencari wanita yang subur rahimnya, biar bisa “tersalurkan” (seolah hanya suami yang butuh), dan lain-lain.
Setiap kali terjadi perselingkuhan, tak lupa istri langsung dituduh tidak memberikan servis maksimal (Para wanita, baca lebih lanjut buku Cassanova Syndrome ya).
Ketika kita dihadapkan pada pernikahan pun demikian, wanita yang selalu dihina-hina dengan “sosok perasa”-nya, tiba-tiba berpikir pun tidak boleh. Kalau pada urusan umum dibilangnya begini,”Wanita itu lemah akalnya, pakai pikiranmu.”
Sedangkan pada urusan mencari jodoh, tiba-tiba menjadi begini:
“Nggak usah pake logika, serahkan saja sama Allah.”
Luwucu.
Lebih lanjut tentang standar ganda pria, pria membantu sesama pria (walau pria asing sekalipun), dll bisa kamu baca lebih pada buku di atas
Nggak papa menikah dengan pria yang gini gitu, serahkan saja pada Allah (dan kamu tinggal nikah doang, nggak usah mikir), lalu wanita pun dihina-hina dengan kata “terlalu pilih-pilih”, “matre”, atau lainnya jika tak mau.
Begitupun ketika wanita menerima pria yang kurang mapan secara ekonomi, masih dibebani bekerja (dengan porsi yang lebih besar pula), menanggung urusan rumah juga, ikut nanggung utang suami (yang sudah ada sejak sebelum menikah), nanggung keluarga suami, masih diakhirkan dari ortu dan keluarga suami (yang aslinya kalau suaminya ekonominya baik nggak perlu lah ada pertanyaan istri atau ibu/ortu suami dulu), harus mengutamakan keluarga suami, itu pun masih dikata-katai nggak bersyukur dan nggak mampu mengelola keuangan (jika keuangan keluarga masih kurang), plus menanggung pro-kontra di masyarakat tentang ibu bekerja, (termasuk dari ustaz itu sendiri yang nyuruh nerima pria bagaimanapun keadaannya).
Bila dirunut akan seperti ini:
1. Ajaran/pemahaman ustaz (saya garis bawahi ya karena menurut saya itu tentang pemahaman ustaznya dan bukan ajaran Islam yang sesungguhnya) tentang “Nikah saja, tidak perlu memikirkan ekonomi” dan “menyelamatkan pria dari zina dengan memudahkan (baca: mengabaikan) urusan perekonomiannya (menyelamatkan pria dengan mengorbankan wanita you know).”
Jadi, pria-pria yang berekonomi rendah atau bahkan pengangguran nekat saja menikah. Serahkan saja sama Allah (agamis palsu).
Ada juga tentang sosialisasi jumlah laki-laki yang semakin langka, risiko sulit hamil di usia tertentu, hinaan atas wanita-wanita yang belum menikah di usia tertentu/punya kriteria tertentu, sosialisasi p*ligami dan pernikahan-pernikahan yang “tidak normal”/tidak sebanding (misalnya mbah-mbah dapat gadis yang jauh sekali umurnya, duda menikahi gadis, wanita-wanita yang dengan sukarela dip*ligami, dll yang cuci otak banget/manipulatif), baik itu dari ustaz atau pengurus birjo-birjo/birta-birta (biro taaruf), atau penulis-penulis berita, atau mungkin orang-orang lain.
2. Wanita nggak boleh punya kriteria
Kriteria apa pun akan dihina-hina apalagi kalau prianya tidak memenuhi. Yang boleh mungkin nulis yang gampang-gampang menurut mereka, misalnya muslim (bagi kebanyakan orang, muslim dianggap cuma label, tidak memahami bahwa muslim itu banyak syaratnya/membawa implikasi tertentu), dan sholeh (banyak pria yang maju ngaku-ngaku/menganggap dirinya sholeh padahal nggak sama sekali).
Sholeh itu sendiri abstrak ya, kurang spesifik, standar sholeh seseorang itu bisa saja berbeda.
3. Pria sih kriterianya suka-suka gue dong
Berbeda dengan wanita, pria yang notabene pihak yang aslinya menanggung kewajiban penuh dalam memberi nafkah, mayoritas malah mencari istri yang bekerja, kadang ditetapkan jenis pekerjaannya harus apa (kadang ditulis secara eksplisit, kadang tidak), kadang juga mengejar ingin tahu gaji/pendapatannya berapa/kisaran berapa, mencari wanita dengan keahlian khusus untuk membantu dia, dan sebagainya.
Dalam maksimal mungkin sepuluh pertanyaan awal (biasanya tidak sampai sepuluh), dia akan tanya pekerjaan wanita (jika wanita tersebut tidak menulis pekerjaannya di CV/biodatanya).
Di sini, pekerjaan/keahlian wanita menjadi wajib dan anehnya, lagi-lagi wanita yang dicap buruk karena tidak bisa memenuhi hal tersebut.
Ibu dan Om saya pernah bilang, “Cowok zaman sekarang itu nyari cewek yang bekerja.”
Nah, lo, jadi wajib. Itu tugas/kewajiban siapa coba?
Dan kalaupun wanitanya bekerja, bisa tidak prianya itu bicara baik-baik. Akui kalau itu kelemahan dia dan mintalah bantuan dengan cara yang baik, bukan tetap bernada sok dan otoriter. Bener-bener deh ya, semua kekurangan kok dilimpahkan ke wanita.
Kontras ya, saat wanita disuruh nurun-nurunin kriteria (dan bukan prianya yang berusaha menaikkan kualitasnya), pria sangat ribet masalah umur, fisik, kekayaan, bisa hamil atau tidak, dan lain-lain.
Dalam sebuah buku (atau artikel? kayaknya buku deh ya) taaruf yang ditulis oleh ustaz/comblangnya sendiri (pemilik biro taaruf), ustaz tersebut malah bilang, rata-rata pria mencari wanita anak tunggal dari ortu yang kaya.
Nah, lo. Tahu juga kan aslinya?
Lalu kenapa wanita yang diperlakukan demikian?
Mungkin jawabannya seperti pada buku What Men Don’t Want Women To Know karya Smith and Doe, di antara sesama pria ada semacam perjanjian tidak tertulis untuk saling membantu.
4. Wanita nggak boleh ada harganya (asal saja lah buat formalitas biar semua pria mampu walaupun nggak sekufu). Mahar atau resepsi itu yang mudah-mudah gitu lho saya (pria yang tidak sekufu/ekonominya lebih rendah dari wanita/keluarga wanita) kan juga pengen punya istri yang cantik sekaligus kaya, seksi, solehah, dan nurut (termasuk mau dip*ligami).
INGAT YA, masalah mahar, resepsi, atau “dulu mana ortu suami atau istri” itu adalah masalah tidak sekufu. Pria itu tidak sekufu denganmu dan sudah tidak mampu secara finansial sejak awal, jadi wajar kalau ke belakangnya juga seret/berdarah-darah.
5. Membenci ortu wanita yang pastinya tahu asam garam berumah tangga, memberikan anaknya harga yang pas dan menghindarkan anaknya dari bucin.
Ortu wanita ini akan dibenci dan ikut dikata-katain matre dan sebagainya.
6. Anggaplah masalah per-ortu-an sudah diselesaikan oleh Si Wanita atau murobbi’-nya/perantara taaruf/comblangnya, eh setelah menikah suami ini mengakhirkan istri dan anaknya:
a. Padahal gajinya sedikit, eh ibu suami dulu katanya (ortu istri mah lewat, lupa dulu udah diizinin nikah sama anaknya; wong istri dan anaknya aja nasibnya nggak jelas kok),
b. Trus bayar-bayar utangnya (plus minta bantuan dana istri juga ya),
c. Trus menyekolahkan atau menanggung saudara-saudaranya,
d. Belanja itu kurang, udah istri dan anaknya ngempet laper gitu, pusing muterin uang belanja juga, eh dibilang nggak pinter ngatur keuangan, nggak bersyukur, nggak sholehah, dll,
e. Udah gitu kan istrinya juga bekerja, nggak bisa full dong ngurus rumah, masih dimarah-marahin nggak becus ngurus rumah plus nggak dibantu ngurus rumah dan anaknya.
f. Kalau uang harian kurang, istri minta suami pun dimarahi, begitu pun utang juga dimarahi. Lalu istri mungkin utang diam-diam dan ga tau deh yang nyaur istri juga kayaknya.
7. Mahar yang secuil itu pun masih diincer juga
Ada ustaz/kiai yang mengajarkan, pinjamlah mahar istrimu karena itu berkah.
8. Karena miskin setelah nikah tinggal sama ibu/keluarga suami, eh masih juga tidak bisa memberikan keamanan dan kenyamanan pada istrinya (lagi-lagi ortu dan saudaranya dulu) dan masakan seuprit dari uang belanja seuprit itu masih bingung harus berbagi dengan keluarga suami, plus kalau ada masalah apa-apa suaminya nggak ngereken, lebih membela ortu dan saudaranya.
9. Karena kecapekan, ngurus kerjaan serta rumah dan anak (dan mungkin juga ortu dan saudara suami juga) dan nggak dibantu suami pula, mungkin istri nggak berenergi atau nggak mood atau nggak hot gituan/ML, eh dibilang kayak gedebog, nggak agresif kayak p*lacur, dll.
10. Karena terbiasa hidup mudah/ringan, enak, dan kaya; istri jadi dikatain manja, malas, lemah, lebay, dll padahal dari awal gaya hidupnya udah beda. Lakinya yang maksa.
11. Karena istrinya kaya dan sukses karirnya, gaji/pendapatan lebih tinggi dari suami, lalu suami minder/iri, berusaha menjatuhkan/merendahkan/mengecilkan usaha istrinya. Kadang malah suami jadi malas dan nggak kerja karena bergantung pada istrinya. Selain itu, istri juga akan diprotes karena kerja melulu, nggak becus ngurus rumah, nggak peduli keluarga, dll.
12. Setelah nikah ternyata istrinya subur, hamil terus, eh suaminya nggak bisa membiayai. Sementara kalau disuruh KB, istri juga jadi gemuk, eh dibilang kayak Gardu Ronda (nih asli ya ada yang ngomong gitu).
13. Misal sudah nggak sanggup lalu memilih memakai pembantu. Istri akan dikatain istri apa tuh anak kok dititipkan ke pembantu, pembantu itu membawa mudharat lebih baik anak diurus sendiri. Akhirnya anak diurus ibu istri/mertua dan masih juga salah. Kok diurus neneknya sih?
14. Harta setelah menikah dicampur, padahal harta suami aslinya nggak jelas (baca: nggak punya apa-apa) eh begitu cerai atau meninggal ngeributin gono-gini.
15. Pas nikah prianya sudah minim uang, meninggal pun ga mewariskan harta malah mewariskan utang, yang mungkin juga suami ini ngutangnya diam-diam.
Kenalan wanitaku yang bekerja sebagai notaris atau entah apa aku lupa pernah cerita, dia pernah nangani kasus entah suaminya cerai/mati yang jelas perpisahan dengan Sang Suami tersebut malah meninggalkan utang bagi mantan istrinya. Padahal, itu utang suaminya.
16. Setelah suami kaya atau istri ternyata sakit/mandul/kurang hot, dan sebagainya, eh suaminya p*ligami.
Ada juga suami yang tega menjual istri/anaknya demi memenuhi kebutuhan keuangan keluarga, memb*nuh diri sendiri/sekeluarga, bundel/buntu karena ternyata nggak instan jadi kaya lalu mabuk-mabukan atau mengkonsumsi narkoba, menjadi gila, menjadi gig*lo, mencari rezeki dari jalan haram/tidak halal (misalnya curang), berj*di, pes*gihan, dan lain-lain.
Kamu nggak salah apa-apa kok wanita. Kamu hanya "salah" kelamin. Kamu jadi “tumbal” karena kamu wanita. Diperes terooos sampai kalo santen itu tinggal beningnya, diinjak teroooos sampe sekeset-kesetnya. Semua asetmu akan diincar sampai kamu nggak punya aset sama sekali bahkan untuk dirimu sendiri dan itupun kamu tetap salah (baca: disalahkan). Mungkin kalau kamu mati sekalipun, kamu tetap salah, kenapa kamu mati duluan, laki dan anakmu jadi nggak ada yang ngurus lagi.
Wanita Tak Boleh Punya Kriteria
Pokoknya, wanita itu serba salah dan memang diposisikan demikian. Apalagi, jika wanita itu sudah berusia 30 tahun ke atas. Pria seumuran mencari wanita yang jauh lebih muda, yang muda cari yang sepantaran juga, dan yang lebih miris berita-berita tentang mbah-mbah menikahi gadis dan p*ligami terus di-blow up, sehingga mbah-mbah lain kepengen juga mendapatkan istri yang pantesnya jadi cucunya (mbah-mbah tua ya, bukan pria muda yang kebetulan sudah punya cucu)
Jadilah mayoritas pria menghina-hina dan seolah yang tertinggal hanya opsi duda, p*ligami, dan pria-pria yang tidak ori (pernah zina). Duda ini pun banyak juga yang mbah-mbah yang seolah tidak sadar akan umurnya.
Bahkan, pria yang sudah duda cerai berkali-kali pun (bapak2 ya, tua, dan ga ganteng juga) anehnya merasa super dan lebih baik daripada gadis 30an tahun yang belum pernah menikah. Wong pernikahan gagal aja bangga. Itu pun masih sambil menjelek-jelekkan semua mantan istrinya di depanku. Mungkin maksudnya PDKT aku sambil merendahkan aku, meskipun saat itu urusanku dengannya bukan tentang PDKT/cinta. Nggak ada urusan sebenernya, dia bukan orang yang kutuju, tetapi kebetulan ada dia. Apes banget gitu ga ada angin ga ada hujan dihina-hina sebegitu rupa. Oleh orang asing pula dan ga ada urusan pula.
Contoh lain itu ketika aku hanya menetapkan kriteria yang sangat minim, “belum pernah menikah dan tidak pernah berzina.” Itu pun masih dikatakan ketinggian. Itu yang halus ya, yang kasar malah nyerang aku rame-rame dan bully aku. Which is lingkungan di sana sepertinya adalah sarang orang-orang yang pernah berzina.
So, jika kamu berzina, nggak usah heran kalau kamu dibully orang, cz orang yang nggak berzina pun juga akan dibully di lingkungan orang-orang yang berzina. Itu bagian dari konsekuensi agar para pelaku zina berpikir ulang sebelum benar-benar berbuat zina.
Penyelewengan P*ligami di Masyarakat
Di mana-mana, jika ada orang bahas p*ligami, sekelompok orang akan meradang. Sebagian nyinyir berkata-kata buruk tentang Nabi Muhammad dan p*ligaminya, sebagian lagi membela p*ligami mati-matian dan melekatkan p*ligami pada Islam dan Nabi Muhammad.
Ingat, p*ligami itu bukan (monopoli) Islam atau Nabi Muhammad. Bukan milik Islam. Justru Islam dan Nabi Muhammad itu membatasi jumlahnya karena p*ligami orang-orang yang lain itu jumlahnya seperti tak terhingga.
P*ligami orang-orang saat ini lebih dikarenakan alasan nafsu atau alasan-alasan lain yang dibuat-buat, seperti istri mandul/sakit, alasan p*ligami sunah/wajib, atau alasan jumlah wanita di Indonesia yang lebih sedikit daripada pria.
Nyatanya, jumlah pria di Indonesia masih lebih banyak dari wanita. Asal tidak zonasi, jumlahnya masih cukup. Hanya saja, aku tidak tahu pasti mengenai persebaran umurnya dan statusnya (perjaka atau duda). Dirjen Dukcapil, Zudan Arif Fakhrulloh merinci jumlah total penduduk Indonesia per tanggal 30 Juni 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa, dengan 135.821.768 pria dan 132.761.248 wanita. (ini saja belum bener-bener banyakan pria udah digembar-gemborkan p*ligami, ndanio kalo udah lebih banyak beneran)
Biasanya, ustaz-ustaz taaruf/biro jodoh (birjo) begitu meyakini berlebihnya jumlah wanita dibanding pria ini, dari anggota-anggotanya (member-member) yang mereka tangani.
Namun, di sini bisa terjadi beberapa kesalahan pemikiran:
1. Kemungkinan ustaz-ustaz itu berada pada zona yang mayoritas wanita,
2. Tidak semua lajang ikut taaruf/birjo,
3. Tidak semua lajang yang ikut taaruf/birjo, ikut taaruf/birjo mereka,
4. Tidak semua lajang mendaftar taaruf/birjo tersebut.
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak juga pria yang “nggak modal”, nggak mau daftar tapi ngintip doang dan langsung ngontak member yang diincarnya,
5. Tidak semua lajang mencari yang satu zonasi,
Begitu maraknya pria berp*ligami sebagai ajang coba-coba. Jika memang itu sunnah, maka itu adalah sunnah yang mungkin akan sangat digemari pria (favorit pria), dengan dalih bisa s*ks dengan lebih banyak wanita. Apa pun masalahnya sepertinya solusi yang terpikir tak jauh-jauh dari p*ligami. Mungkin mereka tak sadar kalau p*ligami itu sangat berat dan kompleks. Kompleksnya keluarga p*ligami ini pernah disinggung di dalam buku Cassanova Syndrome. Tak heran jika akhirnya banyak rumah tangga p*ligami yang gagal atau sukses (tetapi palsu), misalnya di Sidoarjo dulu ada kampung p*ligami/desa Wayoh (Wayoh dari bahasa Jawa artinya p*ligami/beristri banyak).
Di TV dulu juga pernah ada pria berp*ligami dengan cara memelet dan tujuannya 2, yaitu nafsu/s*ks dan harta (materi/matre). Istrinya banyak dan suka gonta-ganti istri.
Di dalam prakteknya, terdapat beberapa modus p*ligami yang umum dilakukan:
1. Alasan bahwa hukum poligami itu sunnah/wajib,
2. Istri mandul/tidak punya keturunan,
3. Istri sakit/memiliki gangguan dalam berhubungan s*ksual,
4. Beda lokasi dengan istri, daripada berzina katanya,
5. Khilaf,
6. Istri nusyuz/tidak melaksanakan kewajiban dengan baik,
7. Tidak bercerai, tetapi selingkuh/p*ligami,
8. Boleh menikah lagi tanpa seizin istri,
9. Kalau pria baik datang melamar wajib diterima agar tidak terjadi fitnah,
10. Menyelamatkan wanita (agar semua wanita kebagian pria/bisa “mencicipi” pernikahan),
11. Karena pria baik-baik, berkualitas, dan lajang sudah langka karena sudah pada menikah, sisanya adalah pria-pria yang tidak baik atau eLGeBeTeQ (hilangkan e nya).
12. Istri yang baik itu patuh pada suami, termasuk terhadap keputusan suami untuk berp*ligami.
Nah, itu adalah modus-modus umumnya.
Dan kamu sebaiknya memperhatikan hal-hal ini pula yang bisa membuat penyalahgunaan/penyelewengannya bisa meluas:
1. Tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah
Di kalangan orang yang tidak suka dengan Islam/Nabi Muhammad, pernikahan ini membuat Nabi Muhammad dikatai buruk karena menikahi anak kecil.
Meskipun, aku pernah membaca umur Aisyah saat menikah sendiri masih menjadi perdebatan, umur berapa aslinya.
Tapi anggaplah umurnya benar 9 tahun. Ini akan membuat p*ligami bisa dilakukan pula terhadap anak-anak kecil.
Kapan hari sempat ada berita kan pelajar belum lulus sudah p*ligami, langsung nikah 2 sekaligus pula.
2. Boleh tanpa izin istri,
3. Bagi yang berpendapat p*ligami sunnah/wajib,
4. Jumlah wanita yang dip*ligami maksimal 4,
5. Bisa menikah jarak jauh,
Aku pernah lihat ada yang nikah jarak jauh. Kalau memang itu sah, berarti ini lebih bahaya lagi.
6. Nikah s*ri,
7. Anjuran menikahi perawan,
8. Adanya online dating dan medsos yang memudahkan terjadinya p*ligami,
9. Maraknya mahabbah-mahabbah online dan ilmu-ilmu hitam pemikat,
10. Mahar murah dan resepsi sederhana,
11. Adanya persaingan tidak sehat/menjelek-jelekkan pria ganteng/kaya pasti buruk dan nggak setia, kekayaan nggak jaminan bahagia, dll. Sebaliknya, membaik-baikkan pria jelek/miskin seolah mereka pasti baik, sholeh, setia, dll.
12. Di masyarakat, solusi dari zina adalah menikah (dinikahkan)
13. Mengincar calon istri yang mapan/bekerja,
14. Suami tidak harus memberitahukan/memberikan seluruh gaji/pendapatannya kepada istri.
Wih, angin segar tuh buat cowok-cowok. Bayangkan gimana hasilnya gabungan dari p*ligami dengan hal-hal di atas.
Biarpun miskin, jarak jauh, nggak izin istri, dan nggak modal pokoknya bisa nikahin yang kinclong-kinclong dan perawan, lebih muda, maksimal 4 pula.
Di tengah tekanan lingkungan terhadap wanita, isu kemandulan, isu kelangkaan pria, dan sosialisasi-sosialisasi buruk tentang wanita yang ingin suami dengan finansial yang cukup atau lainnya, adanya modus-modus di atas plus 14 poin pendukung tadi, menjadi semakin “enak di elo dan ga enak di gue” dong (enak di pria dan ga enak di wanita).
Mengapa kusebut penyelewengan?
Misal tentang isu kemandulan. Mereka ngakunya nyunnah ya, padahal Rasulullah p*ligami bukan karena istrinya mandul.
Tentang tidak punya anak atau sakit, kenapa tidak berpikir tentang terapi, adopsi, dan sebagainya.
Tentang keluhan-keluhan dengan istrinya, kenapa tidak konsul ke terapis atau sekalian bercerai? Kenapa malah selingkuh?
Kalau kamu niat baik-baik, kenapa nikahnya kucing-kucingan dari istri sebelumnya?
Bahkan misalnya beda libido/suami hipers*ks, kenapa tidak dibicarakan sejak sebelum menikah?
Penyelewengan lain adalah tentang kebohongan, ketidakadilan, kecurangan, pelampiasan nafsu, dan bahkan mungkin pula kezaliman berkedok agama.
P*ligami yang terjadi saat ini terutama ada 2 model:
1. Nikah dengan berapa wanita sekaligus atau beda waktu sedikit,
Ini biasanya terjadi pada pria yang tidak mampu membuat keputusan/nggak bisa milih. Jadi, mau keduanya. Memang sebelum nikah dia mendekati lebih dari 1 wanita. Kadang terjadi penipuan di sini. Jadi, modusnya itu membuat wanitanya terlanjur cinta.
2. Nikah lagi setelah sudah beristri
Ini seringkali diikuti dengan kebohongan saat dia menikah lagi atau memberikan jatah ke istri yang lainnya. Di sini modusnya biasanya pas ketahuan sudah terlanjur menikah, istrinya sudah sama-sama hamil, dan sebagainya.
Di saat ada isu-isu yang terus memojokkan wanita seperti dalam bahasan “wanita selalu salah” di atas ditambah dengan modus dan pendukung p*ligami ini, lengkap sudah penderitaanmu wahai wanita.
Sadar gak sih, kamu diarahkan ke sana. Dijejalkan berulang-ulang dalam berbagai bentuk hingga kamu mulai ragu “Masa iya sih?” lalu kamu pun mulai ikut meyakininya.
Intinya gini ya, untuk mereka yang ngaku nyunnah, apakah “nyunnah”-nya itu mengandung dosa/bahkan melanggar yang wajib atau tidak, membuat kewajiban-kewajibannya terbengkalai atau tidak, mengandung mudharat atau tidak, dan sebagainya. Jangan sampai cuma ingin menjadi playboy dengan cap baik dan halal/resmi saja. Yang aslinya dia itu nggak baik tapi modus aja.
Ini abuse terhadap wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.