Perpustakaan
Sumber: krjogja.com
Menurut
hasil studi "Most Literred Nation in the world 2016" yang dilakukan
oleh Central Connecticut State University (CCSU), tingkat literasi Indonesia
masih rendah. Melalui indikator perpustakaan, koran, pendidikan, serta komputer
mereka menempatkan Indonesia pada posisi ke-60 dari 61 negara. Padahal, setahun
sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai negara pencetak buku terbanyak ke-6 di
dunia. Mengapa demikian?
Literasi
erat kaitannya dengan membaca dan menulis. Sayangnya, kedua aktivitas tersebut masih
dianggap sebagai aktivitas golongan introvert saja. Tak hanya itu, film-film
menggambarkan para kutu buku sebagai manusia kuno, kuper, aneh, berkacamata
tebal, pendiam, dan membosankan. Lain dengan gawai, mereka yang lekat dengan
gawainya seolah lebih gaul dan melek teknologi, seru dan asyik.
Ilustrasi anak kecil main HP
Sumber: www.infotekno20.com
Seiring
dengan kemajuan teknologi penggunaan internet, gawai, laptop, dan PC di
Indonesia kian meningkat. Dari yang tadinya orang mengkambinghitamkan TV atas
berbagai masalah, kini mengkambinghitamkan internet dan gawai juga. Mereka
menyoroti ketiganya, termasuk generasi Z dan milenial sebagai pengguna utamanya.
Tak adil sebenarnya, mengingat sejak kecil mereka sudah akrab dengan TV dan gawai.
Saat rewel para pengasuh biasa membujuk mereka dengan keduanya untuk
menenangkannya. Bisa dimaklumi jika kemudian HootSuite dan We Are Social
memasukkan tingkat kecanduan internet Indonesia sebagai tertinggi ke-5 di dunia.
Durasi mengakses media
Sumber: https://www.saputrawhy.com/bijak-dalam-menggunakan-media-sosial/
Setiap
harinya, orang Indonesia berselancar di dunia maya selama 8-9 jam. Tiga jam di
antaranya digunakannya untuk eksis di media sosial. Adapun televisi, lebih dari
separuh generasi muda Indonesia sudah meninggalkannya. Hanya 32% responden yang
masih menonton TV 1-3 jam per hari, dan 10% lainnya menonton lebih dari 3 jam. Bandingkan
dengan kebiasaan mereka membaca buku yang hanya 6 jam per minggu. Terlalu kecil
namun mampu menempatkan Indonesia pada posisi ke-16 dari 32 negara yang gemar membaca.
Padahal, bila dibandingkan dengan Warren Buffet yang rutin membaca 6 jam per hari,
itu belum ada apa-apanya.
Tingkat kecanduan Internet di Indonesia tertinggi ke-5 di dunia
Sumber: https://databoks.katadata.co.id/
Data-data
di atas tidak menunjukkan bahwa TV, internet, atau gawai adalah musuh.
Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Nyatanya, negara lain bisa
memanfaatkannya dengan baik untuk meningkatkan literasi mereka. Kita juga bisa
menirunya, misalnya dengan menyiarkan program berbahasa asing dengan teks
terjemahan berbahasa Indonesia, membuat acara di TV tentang buku yang menarik
atau kisah-kisah tokoh yang gemar membaca, membuat film gemar membaca, membuat
film atau acara tentang kerennya seorang kutu buku, atau membuat games/website/aplikasi/video
youtube yang mendukung literasi. Setelah itu, tugas orangtualah untuk membantu memilihkan program
yang tepat bagi anak-anaknya.
Mendampingi anak membaca
Sumber: Cantik.tempo.co
Ya,
keluarga adalah pondasi utama. Keluarga yang rajin membaca, menyediakan
bahan-bahan bacaan bagi anak, sering mendongeng atau membacakan buku pada anak
akan membentuk anak yang cinta buku juga. Sebelum menyalahkan Si Anak, lihatlah
dulu seperti apa keluarganya.
Sama
juga dengan penerapan di sekolah atau masyarakat. Para guru dan pemimpin juga
harus rajin membaca dan menampilkannya ke hadapan publik. Keteladanan merupakan
salah satu cara yang baik dalam mengajar. Ia ikut mendukung meningkatnya baca
tulis di samping faktor-faktor lain seperti kondisi mata, kemampuan membaca dan
kebebasan dari buta aksara, lokasi bahan bacaan yang mudah diakses, jumlah dan
jenis bacaan yang memadai, SDM yang cukup dan berorientasi konsumen, tingkat
daya beli masyarakat, harga buku, dan adanya bacaan yang menarik.
Bursa buku masih ramai dikunjungi
Sumber: https://gaya.tempo.co/read/769193/ini-sejarah-dan-rahasia-big-bad-wolf-menjual-buku-murah
Jika
dikatakan minat baca rendah, nyatanya beberapa kali penyelenggaraan bursa buku
di Surabaya ramai dikunjungi. Begitupun pelatihan-pelatihan menulis online
maupun offline, pesertanya banyak. Itu artinya minat mereka terhadap literasi masih
tinggi.
Sekarang,
mari kita tengok perpustakaan dan toko buku. Keberadaan keduanya masih belum
merata di Indonesia. Belum lagi lokasi yang menyempil, ruangan sempit,
buku-buku tidak layak dan tidak up to date, fasilitas dan SDM yang
kurang memadai, konsep ruangan yang buruk, jam buka yang terbatas, hingga jeleknya
pelayanan turut menyebabkan sepinya pengunjung. Data dari PNRI menyatakan, per
harinya hanya 0,02% penduduk yang mengunjungi perpustakaan. Ini bukan tentang menambahkan
musik atau konsep kafe ke dalamnya, tetapi kondisi yang lebih ramah pengunjung,
bisa membaca di taman-taman, gazebo, dan petugas yang berorientasi konsumen.
Kemudian, sediakan pula layanan all in one secara online yang
memungkinkan pengunjung meminjam buku cetak tanpa harus datang ke lokasi. Walaupun
perpustakaan sudah memiliki Ipusnas, tapi tak semua orang suka membaca buku
digital. Mengingat terbatasnya jam buka perpustakaan, kesibukan calon peminjam,
jarak yang jauh, atau faktor kepraktisan maka adanya layanan peminjaman online dapat
membantu. Perpustakaan bisa menggandeng kantor pos di dalam penerapannya
melalui program Pos Pustaka.
Keteladanan membaca buku dari orangtua dan orang penting
Sumber: kompasiana.com
Masih
tentang perpustakaan, perhatikan juga mengenai jenis-jenis buku yang tersedia.
Pada web atau aplikasi online, sediakan wadah bagi pengunjung untuk menuliskan
buku-buku idamannya yang belum ada di perpustakaan tersebut. Perpustakaan tak
harus menambah koleksi bukunya dengan membeli, tetapi bisa juga dengan menggandeng
penerbit, toko buku, taman bacaan, perpustakaan lain, atau penulis untuk
bekerja sama. Terkait perpustakaan, peran orangtua adalah memilih dan
meminjamkan buku-buku tersebut untuk anak-anaknya, terutama yang masih kecil.
Kemudian setelah sampai di rumah mereka bisa membacakannya atau mendampinginya membaca.
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga