Thomas J. Stanley mencatat,
mayoritas miliarder Amerika berasal dari kalangan pengusaha. Yang lebih
mengagumkan lagi, mereka bukan sembarang pengusaha, tetapi pengusaha dengan
kekayaan bersih sebanyak tujuh digit. Kaya yang sesungguhnya, bukan hanya
penghasilannya yang terlihat besar. Para miliarder tersebut, baik yang bekerja
sebagai pengusaha maupun yang bekerja di bidang profesional semacam dokter,
mayoritas adalah orang berpendidikan. Sebanyak 90 persen adalah lulusan
perguruan tinggi. Meskipun tidak selalu ditunjukkan dengan nilai tes yang
tinggi, jumlah nilai A yang banyak di seluruh mata kuliah, atau IPK yang sangat
tinggi, tetapi hasil mereka juga tidak rendah. Mereka rata-rata memiliki IPK
sebesar 2,9. Ini membuktikan bahwa pendidikan itu penting, meski bukan faktor
utama untuk menjadi multimiliarder. Beberapa miliarder yang mengatakan bahwa
faktor utama kesuksesan mereka adalah pendidikan, nilai, dan gelar yang tinggi
hanyalah miliarder dari kalangan pekerja profesional, seperti dokter dan
pengacara. Tetapi itupun jumlahnya sedikit dibandingkan seluruh sampel yang
ada. Sejak awal para calon miliarder memang banyak yang berorientasi uang,
bukan nilai. Apalagi mereka umumnya berasal dari keluarga miskin dan sekolah
atau kuliah sambil bekerja. Jadi, wajar bila nilai-nilainya tak semenonjol
siswa atau mahasiswa yang kondisinya lebih “beruntung” atau berorientasi nilai
(The Millionaire Mind, 2017).
Fakta ini sangat
bermanfaat bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia. permasalahan seperti
kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kenakalan remaja, dan sebagainya bisa
diminimalkan atau diatasi dengan mencanangkan gerakan “sejuta” pengusaha atau
gerakan “sejuta” miliarder. Sasarannya adalah para masyarakat ekonomi lemah
seperti para fakir miskin, anak jalanan, anak putus sekolah, anak yatim piatu, pengangguran,
dan sebagainya. Tantangannya adalah meskipun mayoritas miliarder berasal dari
kalangan pengusaha, hanya sedikit pengusaha yang bisa menjadi miliarder. Dengan
kata lain, menjadi pengusaha tidak otomatis membuat mereka menjadi miliarder.
Berbicara tentang
miliarder tidak hanya berbicara tentang cara berbisnis, tetapi perlu diajarkan
juga mengenai pemikiran, gaya hidup, kemampuan melihat peluang yang spesifik
sesuai keunggulan pribadinya, permodalan, dan hal-hal semacam itu. Di antara
hal penting yang harus diajarkan adalah mengenai utang atau kredit. Tak bisa
dimungkiri bahwa orang-orang “kecil” seringkali terjebak akan utang/kredit.
Selain karena gaya hidup konsumtif, juga mungkin untuk membayar rumah, motor,
sekolah anak, sebagai modal usaha, atau lainnya.
Mengatasi Utang dan Kredit
Sebelum berbicara mengenai
kemakmuran atau kemandirian finansial, utang atau kredit harus dipastikan dulu
teratasi. Selama orang masih berutang, dia masih belum merdeka. Masih di bawah
kekuasaan si pemberi utang.
Utang, baik berupa utang
bank, kartu kredit, utang pada rentenir, atau lainnya sama-sama mencekik. Ia
bukanlah solusi. Tetapi lihat sekarang, banyak sekali barang bisa dibeli secara
kredit. Utang pun tidak selalu digunakan untuk hal-hal yang memang dibutuhkan,
tetapi juga hal-hal yang hanya berupa keinginan. Bahkan ada orang yang
jelas-jelas tertipu, mengharapkan bunga bank pada uangnya, padahal bunga utang/kreditnya
lebih besar. Ia sebenarnya bisa membayar tunai, tetapi memilih mencicil,
sedangkan uang sisanya disimpan di bank untuk dibungakan.
Baik pemikiran yang salah
mengenai utang, tidak mampu dan hendak berutang, berutang dan selalu ingin
menambah, atau bahkan sudah berutang namun tidak mampu melunasinya; semuanya
harus dibantu dicarikan solusinya.
Utang adalah musuh yang
nyata. Di dalam Islam, kredit bank merupakan riba. Tetapi lihat, tidak hanya
masyarakat yang berutang, negara pun berutang. Di tahun ini saja, Menteri
Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan bahwa utang negara itu biasa (http://setkab.go.id).
Utang pemerintah menembus Rp 4.034,8 triliun pada Februari 2018. Direktur
Strategi dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko
Kementerian Keuangan Schneider Siahaan mengatakan, utang tersebut bisa saja
dilunasi dalam kurun waktu delapan tahun, jika Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) surplus Rp 500 triliunan setahun. Adakah yang menjamin bisa atau
pasti surplus, dan pasti bisa surplus sejumlah itu? Lalu perhatikan pula
pernyataan dari Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih. Ia
menjelaskan, jika tidak ingin berutang, maka penerimaan pajak harus naik untuk
membiayai pembangunan. “Mau enggak pajak naik? Kalau enggak, apa sarannya?
Utang enggak boleh, penerimaan tidak bisa, tapi kalau pemerintah tidak
membangun, dimarahi. Serba salah,” kata dia (Katadata, 16/3/2018). Jadi solusi
pemerintah terutama hanya seputar pajak dan utang. Sedangkan utang sendiri, apakah
tidak bersyarat? Apakah tidak ada kesepakatan-kesepakatan yang diinginkan oleh
Si Pemberi Utang agar dipenuhi oleh Si Pengutang?
Kemudian perhatikan uraian
John Perkins dalam buku Confession of Economic Hitman, mengenai
bagaimana cara Amerika mengambil alih dunia. John Perkins mengungkapkan secara
terperinci mengenai kisah hidupnya ketika bekerja sebagai “Bandit Ekonomi”.
Tugasnya adalah merancang kontrak pemerintah supaya terlihat sempurna di atas
kertas, namun tujuan yang sesungguhnya adalah bagaimana menjerat negara yang
ditargetkan itu ke dalam beban utang yang menggunung, dan bagaimana supaya
negara tersebut terjerat selamanya dalam utang. Sebab dengan utang,
negara-negara yang menjadi target tersebut selamanya akan dapat diperbudak oleh
AS. Perkins memberikan contoh sebagai berikut. Perkins mengungkapkan sebuah
kontrak kesepakatan yang disusunnya, yang disampaikan dan ditandatangani oleh
Keluarga Kerajaan Saudi pada tahun 70-an. Dalam kesepakatan tersebut, semua
negara di Saudi Arabia diharuskan menginvestasikan pajak yang diperoleh dari
penambangan minyak di bank-bank AS, sebagai imbalan atas perlindungan terhadap
tahta mereka. Kesepakatan semacam ini mempererat hubungan antara golongan
fundamental Islam di tubuh pemerintahan Saudi dengan pergantian kepemimpinan
dalam pemerintahan Amerika (The Diary of Dajjal, 2015: 142-143).
Negara Banyak Berutang, Dibayar dengan
Apa?
Bagaimanapun juga, utang
harus dibayar. Dengan apa? Sumber daya alam Indonesia telah banyak yang rusak,
selain juga banyak yang sudah dikuasai asing. Pengamat Asosiasi Kader
Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Suroto, menyatakan, secara de jure BUMN masih
dimiliki Pemerintah namun secara de facto dikuasai oleh swasta kapitalis yang
berorientasi pada profit (Wartaekonomi.co.id, 25/1/2015). Begitupun Ketua
Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia, Bambang Ismawan menyebutkan di dalam
Bisnis.com, 8/10/2014, sebanyak 60 persen industri penting dan strategis telah
dikuasai investor asing,
"Sejumlah industri
penting telah dikuasai asing, seperti perbankan, telekomunikasi, elektronika,
asuransi, dan pasar modal, sehingga akan menyulitkan pemerintah dalam
meningkatkan nilai tambah sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.”
Penguasaan Taipan dan
asing juga meliputi 175 juta hektar tanah atau setara dengan 93% luas daratan
Indonesia (Intelijen.co.id, 17/4/2017). Penguasaan tersebut terkait dengan
pemilikan (penguasaan formal) maupun penguasaan efektif (garapan/operasional)
atas sumber-sumber agraria, serta sebaran alokasi atau peruntukannya. Akibatnya,
terjadilah ketimpangan agraria, 35% dari daratan Indonesia digunakan untuk
pertambangan.
Sebanyak 70% dari blog
migas sudah dikuasai oleh asing, sedangkan 43% dari PGN dikuasai oleh swasta
dan asing. Jika ditambah dengan total utang PGN, maka penguasaan swasta atasnya
telah mencapai 84% dari total aset PGN. Kemudian hutan Indonesia, sebanyak
30%-nya dikuasai oleh 25 konglomerat, sementara rakyat hanya menguasai lahan di
bawah 1 juta hektar. Belum lagi kelapa sawit, sebanyak 52% dari 10,9 juta lahan
kelapa sawit pun dimiliki oleh swasta besar. Sedangkan petani rata-rata hanya
memiliki 0,3-0,5 hektar lahan pertanian.
Delapan puluh persen
industri Indonesia telah dikuasai oleh swasta yang terdiri dari asing dan
pribumi (Tribunnews.com, 3/3/2015). Sedangkan 56% aset nasional telah dikuasai
oleh 0,2% penduduk dalam bentuk kepemilikan tanah. Bahkan, menurut data Bank
Dunia 1% menguasai 49% aset nasional (Nusantara.news, 16/6/2017), dan satu
persen tadi didominasi oleh etnis Cina. Di mana posisi umat Muslim? Menurut
perkiraan Wakil Presiden Jusuf Kalla, umat Islam mungkin tidak lebih dari 10
persennya dari yang 1 persen itu.
Menggalang Kekuatan Umat
Ketika negara sudah tidak
mampu memelihara bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya; dan tidak mampu
untuk mensejahterakan rakyat darinya, maka perlu diambil langkah lain. Meskipun
idealnya aspirasi bisa disampaikan kepada wakil-wakil rakyat di pemerintahan,
tetapi orang-orang yang duduk di sana terlalu majemuk. Bila negara dan
pemerintahan sudah tidak terlalu bisa dipercaya, maka kita dapat mengubah
haluan dengan menggalang kekuatan umat. Kita bisa memanfaatkan kekuatan kita
sebagai umat mayoritas di negeri ini, atau solidaritas sesama muslim dengan
meminta bantuan saudara kita sesama muslim di luar negeri. Solusinya, Islam
harus bersatu dan memiliki kekuatan perekonomian sendiri. Di antara caranya
adalah dengan menciptakan pengusaha-pengusaha baru, yang tidak asal “berlabel”
kerja, tetapi harus sukses, bahkan menjadi miliarder.
Selamatkan saudara-saudara
kita dari kemiskinan. Selamatkan dari kristenisasi, kesulitan beribadah, atau
penanaman pemikiran tertentu akibat bekerja pada non muslim. Selamatkan diri dan
negara kita dari asing dan dari non muslim. Perekonomian adalah jalan bagi kita
untuk mandiri dan berkuasa atas diri dan negeri sendiri.
Kesuksesan Bisa Dipelajari
T. Harv Eker telah
memiliki 17 usaha di usia 30 tahun, dan menjadi miliarder hanya dalam tempo 2,5
tahun. Ia mengatakan bahwa kesuksesan itu bisa dipelajari. Di dalam bukunya, Speedwealth,
ia menunjukkan caranya. Pertama, memposisikan diri untuk siap menerima
kekayaan. Ke dua, bangun pola pikir bahwa menjadi kaya dengan cepat bisa
dilakukan dan Anda mampu melakukannya. Ke tiga, Anda harus benar-benar
ingin menciptakan kebebasan finansial secepatnya. Ke empat, berikan
nilai yang banyak, lebih, dan berkualitas kepada orang banyak. Jadilah yang
terbaik. Ke lima, tawarkan sebuah
produk, terutama yang berkaitan dengan bisnis Anda sekarang, dan yang menambah
manfaat kepada konsumen. Ke enam, lakukan “kloning” pada diri Anda
sendiri, yaitu dengan melatih atau membayar orang lain, atau membuat sistem
yang bisa bekerja walaupun Anda tidur/tanpa Anda. Ke tujuh, miliki
sumber penghasilan ke dua yang berpotensi menciptakan kekayaan, yaitu dengan
memperhatikan permintaan, persediaan, kualitas, dan kuantitas. Ke delapan,
jadilah orang yang tepat, lalu pilihlah bisnis (barang/jasa) yang tepat pada
waktu yang tepat dan tempat yang tepat. Ke sembilan, taksirlah waktu
pasar. Anda harus tahu kapan Anda masuk dan kapan Anda keluar. Ke sepuluh, manfaatkan jeda, yaitu
waktu yang dibutuhkan bagi sebuah ide untuk tersebar dari satu wilayah
geografis ke wilayah geografis yang lain. Temukan konsepnya, lalu tiru dan
perbaiki konsep itu. Ke sebelas, jalin afiliasi dengan seseorang atau
sesuatu yang sudah berjaya di pasar. Ke dua belas, memasarkan ulang
barang dan jasa yang undermarketed; yaitu barang yang menurut Anda
fantastis, bekerja sangat ajaib, namun hampir tidak diketahui orang. Ke tiga
belas, pemasaran, produksi, dan administrasi harus didesai agar
masing-masing bekerja dengan mulus dan hampir otomatis. Ke empat belas,
ketika Anda sudah punya sesuatu yang berjalan dengan baik, maka fokuslah untuk
menduplikasi cara tersebut. Ke lima belas, tanyakan siapa yang bisa
membeli atau menjual barang atau jasaku dalam jumlah besar sekaligus atau
secara terus-menerus. Ke tujuh belas, terapkan leverage, yaitu
dengan mengganti diri Anda atau mengganti banyak hal yang biasanya Anda
kerjakan sendiri. Misalnya dengan mengulang penjualan, mendukung pelanggan
dengan produk-produk dan jasa-jasa tambahan, pemasaran lewat kemitraan atau
usaha patungan, dan sebagainya. Ke delapan belas, Anda memulai bisnis
dengan tujuan untuk menguangkannya suatu saat nanti, misalnya dengan dijual
atau go public. Ke sembilan belas, jangan gunakan nama pribadi
sebagai nama usaha! Ke dua puluh, carilah perusahaan sukses yang besar,
yang sekiranya menganggap uang senilai satu atau dua juta dolar terasa seperti
tetesan air di dalam ember. Perhatikan siapa yang membeli perusahaan Anda dan
daya beli calon pembeli Anda! T. Harv Eker telah berhasil mengembangkan suatu
cara yang membuat orang bisa kaya tanpa stres dan susah payah. Ke dua puluh
satu, praktekkan apa yang Anda inginkan di masa depan sekarang juga.
Misalnya, berbahagia, belajar tentang ilmu bisnis umum (pemasaran, negosiasi,
keuangan, dan sebagainya), ilmu bisnis spesifik/bidang yang ingin digeluti, ilmu
tentang pengembangan diri, dan lain-lain.
Akan tetapi, seperti pernah dijelaskan
sebelumnya, ilmu berbisnis saja tidak cukup. Kita harus tahu bahwa mayoritas
miliarder Amerika adalah dari usaha sendiri, hidup hemat, dan tidak memperoleh
sepeser pun suntikan uang dari keluarganya. Mereka hidup seimbang, tidak gila kerja,
sangat cermat di dalam harta dan pemilihan pasangan hidup, serta didukung oleh
orang-orang yang ahli di bidangnya, dan rajin melakukan riset. Mereka juga
tidak suka judi/lotre dan tidak suka berganti-ganti pasangan/memiliki banyak
pasangan. Bahkan, mereka memprioritaskan keluarga di atas segalanya (The
Millionaire Mind, 2017). Semua hal ini harus diajarkan di dalam suatu upaya
mencetak “sejuta” miliarder. Pelaksanaannya bisa bertahap dulu, misalnya
melatih 100 orang dulu. Setelah 100 orang tadi menjadi miliarder, maka mereka
bisa membantu melatih dan membantu dana atau lainnya yang dibutuhkan. Termasuk
mungkin membukukan perjalanan kisah mereka dan menjualnya. Lalu royaltinya
digunakan untuk mencetak miliarder baru. Atau memperjual belikan CD-nya. Bisa juga
dengan mengadakan seminar atau pelatihan dengan mereka sebagai mentornya, atau
lainnya.
T. Harv Eker mengatakan,
waktu yang dibutuhkan untuk menjadi miliarder jika Speedwealth dilakukan
dengan tepat adalah sekitar 3-5 tahun. Bila berhasil, cara ini sangat
bermanfaat bagi kemandirian pribadi, kemandirian Islam, dan pada akhirnya
kemandirian Indonesia. Selain juga membuat Islam semakin berjaya/berkuasa. Gerakan
sejuta miliarder ini melengkapi program-program lain yang sudah ada, seperti
Riba Crisis Center dan Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Islam adalah satu,
tak boleh terkotak-kotak atau merasa ingin menonjol sendiri. Karena sesama
muslim bersaudara. Mari saling membantu dan bekerja sama.
Sumber Gambar: istimewa