19 Maret 2018

13 Tahun Jualan Bubur, Kini Hidupnya Mulai Berubah


13 Tahun Jualan Bubur, Kini Hidupnya Mulai Berubah

   Tukang Bubur (ilustrasi)



Tanpa sadar, ia menjalankan prinsip marketing. Ia menemukan momen “AHA” itu, dan aku merasa “WOW” dibuatnya. 

Tiga belas tahun menjual bubur bukanlah waktu yang singkat. Namun, belum pasti juga dengan waktu se-lama itu orang pasti sukses. Misalnya tukang bakso, aku pernah menemuinya masih tetap dagang bakso keliling, hanya beda lokasi. Tak lagi lewat di perumahanku.

Pak Bubur adalah salah satu penjual keliling yang santun. Pelayanannya baik dan kata-katanya sopan. Keluargaku kurang suka bubur ayam seperti itu. Meskipun rasanya enak dan harganya murah. Biasanya kami hanya beli saat sakit atau kurang enak badan, dan pada saat yang jarang, kalau tidak ada makanan. Bagi kami, bubur yang seperti itu hanya makanan orang sakit. Kecuali bubur sumsum atau bubur grendul, kami suka.



Hari itu dia tidak lewat, padahal adikku sakit. Ketika esoknya lewat, aku ajaklah ngobrol. Ternyata dia sekarang punya warung. Yah, dalam proses berhenti jualan keliling. Capek. Gitu katanya. Nah, berhubung isterinya sakit, kadang-kadang dia jadi jarang keliling. Dia yang jaga warungnya. Dia juga yang masak.

Aku kan kepo nih. Toh orangnya juga welcome ditanya. Gimana sih prosesnya dia bisa membaik hidupnya? Trus dia cerita, “Saya jualan sudah 13 tahun mbak”. Suer, aku nggak ngira sudah se-lama itu, nggak ngitung. Trus aku tanya-tanya rumahnya di mana, warungnya di mana, kenapa kok milih situ, gitu-gitu deh. Dia bilang dulunya suka mangkal di situ, laris. Makanya trus bikin warung di situ.

“Laris, Pak?” tanyaku. 

“Yah, alhamdulillah.” Jawabnya.

Ngobrol-ngobrol sama dia bikin aku inget ilmu marketing yang pernah kudapatkan. Aku pernah jadi marketing koperasi, bagian tabungan (funding), tapi cuma sehari. Nggak kerasan, haha .... Habisnya langsung ditolak dengan kasar, dan aku mengkeret. Tapi meskipun sehari sudah diajari sebagian ilmunya. Di-briefing gitu lah istilahnya. Kalau jualan itu usahakan kamu bisa dikenali (dititeni kalau kata orang Jawa). Kamu bisa ditemui hari apa, jam berapa, gitu gitu. Nah, Pak Bubur tadi mungkin juga sudah mangkal di mana-mana. Udah “riset” ala dia. Eh mangkal di sini kok rame, di situ kok sepi, semacam itu. Akhirnya buka lah warung di tempat yang rame itu, dan laris. 

Sekarang dia sedang berproses beralih sepenuhnya untuk full ngurus warungnya sepertinya. Wah, susah, nggak ada yang jual bubur lagi nih kalau ada yang sakit.


Sumber gambar: Tribunnews