Me vs Mami
Sumber: Globalradio.co.id
Saya
menyukai film-film sederhana. Menonton film yang dekat dengan keseharian
biasanya terdengar menarik. Itulah mengapa pilihan saya jatuh pada Me vs Mami.
Dari judulnya saja bisa diduga kalau film ini bersifat universal. Tidak
dibatasi oleh negara dan waktu tertentu atau semacamnya. Benar-benar tentang
kisah keseharian antara ibu/mami (Maudy) dan anaknya (Mira). Saya kira, di
manapun, baik di Indonesia atau negara-negara luar, hal itu bisa terjadi. Timbulnya
pertentangan, perselisihan, maupun ketidak-sepahaman antara ibu dan anak adalah
hal yang lumrah. Film ini bermaksud untuk mengurai masalah tersebut. Bagaimana
caranya agar hubungan antara orangtua dan anak bisa membaik.
Adegan
dibuka dengan munculnya Maudy (mami), Mira (anak), dan Om. Diiringi dengan
musik pengiring yang lucu, membuat saya semakin tertarik. Penasaran.
Adegan
demi adegan pun berlalu, dan saya mendapati film ini sangat berisik. Penuh
teriakan di mana-mana. Entahlah, apa karena sosok Maudy yang digambarkan tegas,
protektif, judes (cerewet), perfeksionis, dan otoriter sehingga harus seberisik
itu. Suara dan akting Maudy terlalu mendominasi sehingga pemain lain seperti kebanting.
Barangkali hal itu jugalah penyebab Cut Mini dan Irish Bella yang sempat
menjadi nominasi pemeran pasangan terbaik dalam IMAA 2017 harus takluk pada
Nicholas Saputra dan Dian Sastro dengan AADC 2-nya.
Nominasi pemeran pasangan terbaik IMAA 2017
Sumber: Imgrum.org
Meski
demikian, Cut Mini sebagai mami (Maudy) berperan dengan sangat baik. Ekspresi
maupun peralihan adegannya sangat natural. Wajar jika di tahun yang sama, di
bulan November, ia berhasil meraih piala citra di dalam Festival Film Indonesia
2016, yaitu untuk kategori pemeran utama wanita terbaik (melalui film
Athirah-nya). Sekarang coba kita bandingkan dengan peralihan adegan di dalam Me
vs Mami secara keseluruhan, bukan hanya tentang akting mami. Peralihan
adegannya kasar dan terkesan dipaksakan. Tentang pencuri motor, orang yang mau
bunuh diri, kerbau yang tertabrak, wanita hamil, orang pacaran yang sedang
asyik berfoto, dan masih banyak lagi. Mungkin bisa dikatakan bahwa alurnya
kurang baik. Memang sih, film ini memuat kearifan lokal dan mempromosikan
keindahan alam Indonesia, tetapi entah mengapa saya merasa peralihan adegannya
masih kurang halus. Untuk menuju ke adegan atau tempat-tempat wisata itu
seperti terlalu dipaksakan. Semua potongan adegan di sepanjang perjalanan ke
Payakumbuh, yang sebenarnya ditujukan untuk menunjukkan kuatnya sisi kasih
sayang mami, malah terlihat aneh dan lebay.
Ada
juga tokoh yang seperti tempelan saja, yaitu tokoh Om yang muncul di
awal cerita. Lalu hubungan antara Rio dengan peristiwa-peristiwa di sepanjang
perjalanan, yang entah settingan atau tidak. Itu tidak jelas. Begitupun dengan
endingnya, sama tidak jelasnya.
Sebagai
film yang dikatakan bergenre komedi, film keluarga ini sangat jauh dari kata
lucu. Saya yang agak tertawa itu adalah saat pemilik rumah makan baru menyadari
kalau Maudy seorang artis, lalu mengajaknya foto bersama. Selainnya tidak
terlalu. Mungkin lebih dekat ke unsur petualangan ya daripada komedi. Karena
porsi kejadian di perjalanan lebih banyak dari kejadian sebelum berangkat atau
di tempat tujuan.
Cut Mini dan Piala Citra FFI 2016 (film Athirah)
Sumber: Entertainment.kompas.com
Dilihat
dari cover/posternya, film yang tayang di bioskop tanggal 20 Oktober 2016 ini cukup
menarik. Namun, judul masih kebarat-baratan. Disadari atau tidak, masih banyak
karya yang seperti ini; baik berupa buku, film, atau lainnya. Seolah-olah jika judulnya
berbahasa Indonesia itu tidak keren dan tidak menjual. Apalagi ini tentang
kearifan lokal ya, bukan tentang film Indonesia yang bersetting di luar negeri,
berhubungan dengan bule, atau menyasar segmen luar negeri. Mengapa sebagai
orang Indonesia kita tidak bangga dengan bahasa sendiri? Di dalam kasus ini,
saya merasakan hal yang sama seperti Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Dadang Sunendar. Ia berkata, “Empat puluh satu persen film
Indonesia dalam tahun ini judulnya pakai bahasa Inggris, padahal dialognya
pakai bahasa Indonesia.” Hal itu disampaikannya pada saat Seminar Internasional
Linguistik dengan tema Bahasa dan Perubahan Sosial digelar oleh Program Studi
S2 Liguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas bekerja sama dengan
Masyarakat Liguistik Indonesia cabang Unand.
Film ini memang sederhana dan ringan, tetapi
idenya mengandung kebaruan. Tidak seperti film lain yang banyak mengusung tema cinta-cintaan
yang begitu-begitu saja. Sayangnya, saya kurang menikmati bagian awal darinya. Menurut
saya, bagian awal sampai dengan adegan Mira ditampar itu “kosong”, kalau tidak
bisa disebut gagal. Seperti adegan yang sia-sia, sekadar memanjang-manjangkan
cerita, atau entah apa namanya. Sedangkan titik di saat adegan penamparan bermula
hingga akhir cerita itu “penuh”. Hanya itu intinya. Adegan-adegan di situ itu
sangat mengesankan dan feel-nya dapat banget. Saya sampai terharu dan
agak menangis.
Me vs Mami
Sumber: Celebrity.okezone.com
Terlepas
dari kekurangan di atas, saya cukup mengapresiasi film ini karena muatannya baik
dan tidak terkesan menggurui. Pesan moralnya kuat. Tak heran jika ia mendapat
pujian dari Atalia Praratya. Namun, bukan hanya istri dari Ridwan Kamil itu yang
memberikan respon positif. Di Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Diskominfo-nya
malah menggelar nonton bareng (Nobar)
Film Me vs Mom di lapangan Tubub, 22 Maret 2017 malam.
Jika
melihat apresiasi yang begitu baik dari Atalia dan Diskominfo Bangka Selatan
tersebut, kira-kira bagaimana penerimaan pasar akan film ini? Ternyata warga Jakarta,
Bandung, Bekasi, Cileungsi, Cibubur, Cirebon, Semarang, Solo, Surabaya, Medan,
Padang, Palembang, Pekanbaru, dan Gorontalo menyambut baik akan keberadaannya. Bahkan,
per 31 Oktober 2016, jumlah penontonnya mencapai 225.603 orang. Hebat, bukan? Hanya
sekitar 2 minggu dari masa tayangnya tiket sudah terjual sebanyak itu. Malahan,
di beberapa bioskop, film komedi ini berhasil menjadi film yang paling banyak
diputar bulan itu. Untuk diketahui, di bulan Oktober 2016 itu ada film-film
Indonesia seperti Humor Baper, Sunya, Wonderful Life, The Doll, Ada Cinta di
SMA, Pinky Promise, Dear Love, dan Cado-Cado the Movie. Dan ternyata, Me vs
Mami berhasil mengunggulinya.
Me
vs Mami versi layar lebar termasuk berhasil mengulang kesuksesan FTV dengan
judul yang sama. Ya, film ini berasal dari film FTV. Agaknya memang masih
banyak film bioskop yang harus diawali dari kesuksesannya di tempat lain dulu. Misalnya,
diangkat dari novel best seller, diadaptasi dari film luar negeri yang sukses,
melanjutkan film terdahulunya yang sukses (seri lanjutannya), mengemas ulang
film lama yang sukses, dan semacamnya.
Bagaimanapun,
film ini cukup menarik untuk ditonton. Anda belum menonton? Wah, sayang sekali!
"Tulisan ini diikutsertakan ke dalam lomba penulisan kritik film Apresiasi Film Indonesia 2017"