Alat
transportasi umum sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi orang yang tak
memiliki kendaraan pribadi. Orang-orang semacam ini hampir bisa dipastikan akan
sering bersinggungan dengannya. Yang namanya umum, maka ketika kita mencegatnya
di tengah jalan kita tidak akan tahu kendaraan yang berhenti akan seperti apa,
akan terjadi apa di dalamnya, dan bagaimana kita akan diperlakukan oleh sopir,
kernet, makelar, atau penumpang lain. Semuanya misterius, bahkan walaupun yang
kita naiki adalah sebuah kendaraan umum yang sedang berhenti di terminalnya.
Aku
sendiri pun demikian, terkadang terganggu oleh asap rokok dari penumpang lain
atau omelan tiada henti dari pak sopir. Tak jarang pula aku harus menunggu lama
sopir yang berhenti di tengah jalan untuk mencari penumpang atau urusan lain. Juga
dengan ongkos yang seringkali ditarik gila-gilaan, ditambah dengan gangguan
dari pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau yang lebih parah lagi adalah
pelaku kejahatan. Namun, salah satu yang paling menyebalkan bagiku adalah
masalah “ketebalan” tubuh.
Berkali-kali
tubuh “tipis” ini menempatkanku pada posisi yang terzalimi. Dengan tetap
membayar penuh aku harus mendapatkan tempat duduk hanya setengah bagian, sepertiga,
atau bahkan sekadar menempelkan pantat. Sering juga aku dipindah ke tempat
duduk yang sangat tidak nyaman, padahal di dalam Islam menyuruh pindah
(mengusir) orang yang sedang duduk dari tempatnya untuk ditempati orang lain
itu tidak boleh. Hatiku memprotes, mengapa aku yang juga sama-sama membayar
“penuh” tidak mendapatkan tempat duduk yang “penuh” seperti lainnya? Jika
memang sopir khawatir setorannya berkurang karena menurunnya jumlah penumpang
akibat orang-orang dengan “ketebalan” ekstra, maka mengapa bukan mereka yang
ditarik bayaran lebih?
Andai
bangku-bangku itu dibuat kaplingan berupa petak-petak per standar “ketebalan” tubuh
penumpang, maka aku hampir-hampir yakin bahwa “ketebalan”-ku masih di bawah
standar sehingga membayar 1 petak pun sebenarnya masih berlebihan. Apalagi jika
hanya mendapat porsi duduk setengah, seperempat, atau sekadar menempelkan pantat
di bangku, tentu sangat zalim padaku. Kalau sudah begini kaki dan tubuhku akan
terasa sakit semua/kram selama dalam perjalanan hingga saat turun. Dan penderitaan
masih akan bertambah jika penumpang di dekatku egois, misalnya dengan
mengangkangkan kaki, yang membuat kedua lututku harus berimpit sangat rapat, atau
adanya penumpang yang merokok, kaki bayi yang melintang, barang-barang
penumpang lain yang berlebihan atau tidak pada posisi yang benar, penumpang
yang tidur hingga miring dan berkali-kali jatuh ke arahku, dan deretan curcol
ini masih akan panjang seperti tidak ada habisnya. Sangat tidak nyaman.
Taksi dan Kemewahan Hidup
Taksi Blue Bird
Sumber: http://bandungtraveler.com/taksi-blue-bird/
Berbeda
halnya jika aku naik taksi. Dibanding banyak angkutan umum lainnya seperti
bemo, kol, dan bis, taksi menawarkan berbagai kemewahan.
Meski
jalan raya menawarkan banyak pilihan kendaraan umum tetapi di jalanan depan
perumahanku hampir tidak ada kendaraan umum lainnya selain taksi. Itu terjadi pasca
semakin meningkatnya jumlah pengendara motor di sana. Mau tidak mau taksi akan
menjadi salah satu pilihan orang-orang di sini untuk keluar dari rumahnya
masing-masing.
Terus
terang aku suka naik taksi. Menaikinya membuatku tak perlu mengkhawatirkan
masalah “tebal-tipis” tubuh lagi, penumpang atau sopir yang merokok, atau
masalah-masalah lainnya. Oke banget pokoknya asalkan pilihan kita jatuh pada
taksi yang tepat.
Awas Salah Pilih Taksi!
Walaupun
taksi menawarkan banyak keunggulan daripada kendaraan umum lainnya dan juga
kemewahan hidup, tetapi alat transportasi ini juga memiliki kekurangan,
terutama jika kita salah pilih. Bisa-bisa penumpang jadi kapok dibuatnya.
Seperti peristiwa yang kudengar sepulang kuliah dulu saat berada satu kol
dengan seorang bapak dari Korea. Dia bercerita kalau dirinya kapok naik taksi. Usut
punya usut ternyata sopirnya pernah menarik bayaran gila-gilaan darinya disebabkan
karena wajahnya terlihat bukan seperti orang Indonesia. Sangat disayangkan
mengapa hal itu bisa terjadi di sini karena sedikit banyak pasti akan mencoreng
nama negara ini di mata internasional.
Jangankan
orang asal Korea, aku yang asli Indonesia saja pernah mengalami hal yang tidak
menyenangkan akibat mencegat taksi sembarangan. Saat itu pak sopir menolak
untuk menyalakan argonya. Setelah Ibuku tanya, dia bilang,”Terserah Bu, bayar
berapa.” Namun, lain ucapan lain pula kenyataan, sesampai di tempat tujuan ibu
ditarik ongkos 20 ribu rupiah, padahal biasanya pada kondisi jalan seperti itu
hanya sekitar 16 ribu rupiah. Sopirnya curang, kata “Terserah” tadi ternyata
hanyalah sebuah kebohongan semata. Kami jadi kesal sekali dibuatnya.
Jadi, jangan salah pilih taksi ya! Pastikan bahwa kita sebagai penumpang bukan membayar taksinya, tetapi membayar kepuasan. Biar naik kendaraan umum berasa seperti naik kendaraan pribadi.
Jadi, jangan salah pilih taksi ya! Pastikan bahwa kita sebagai penumpang bukan membayar taksinya, tetapi membayar kepuasan. Biar naik kendaraan umum berasa seperti naik kendaraan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.