Di Indonesia, nasi adalah bagian tak terpisahkan dari hampir setiap hidangan. Setiap hari, jutaan orang mengonsumsi nasi sebagai bagian utama dari makanan mereka, tak terkecuali di tengah kesibukan urban maupun pedesaan. Namun, di balik kebiasaan ini, ada kenyataan yang kurang diperhatikan: beras adalah komoditas pangan yang paling sering dibuang, baik di tingkat rumah tangga, restoran, maupun pasar. Pemborosan yang terjadi akibat kelebihan pasokan beras atau ketidakmampuan untuk mengelola makanan dengan baik (food waste dan food loss) ini memunculkan masalah besar yang bisa memengaruhi ketahanan pangan Indonesia dalam jangka panjang.
Kita mungkin sering mendengar tentang besarnya cadangan beras yang dimiliki Indonesia, namun faktanya, sekitar 3 juta ton beras setiap tahun terbuang sia-sia. Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar sepertiga dari produksi pangan dunia, termasuk beras, berakhir sebagai sampah. Di Indonesia, pemborosan ini bukan hanya merugikan perekonomian, tetapi juga memengaruhi keberagaman pangan yang ada di negeri ini. Setiap ton beras yang terbuang berkontribusi pada kerugian ekonomi yang sangat besar, sekitar Rp107 triliun hingga Rp346 triliun per tahun, berdasarkan laporan Bappenas (2021). Angka ini belum termasuk kerugian dari komoditas pangan lain yang juga mengalami pemborosan serupa.
Pemborosan pangan menjadi masalah yang semakin besar seiring dengan meningkatnya populasi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Di kota-kota besar, semakin banyak restoran, rumah makan, dan pasar yang mengalami kelebihan pasokan dan kesulitan dalam pengelolaan sisa pangan. Tak jarang, makanan yang masih layak konsumsi terbuang hanya karena tak terjual atau tidak segera dikonsumsi. Di tingkat rumah tangga, kebiasaan membeli beras dan bahan makanan dalam jumlah besar, tanpa memperhitungkan kebutuhan yang sesungguhnya, juga menjadi faktor penyumbang utama pemborosan.
Sementara itu, Indonesia memiliki kekayaan luar biasa dalam keanekaragaman sumber pangan. Tidak hanya beras, negara kita menyimpan lebih dari 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 sumber protein, 389 jenis buah-buahan, dan 228 jenis sayuran. Semua komoditas ini memiliki potensi besar untuk menggantikan beras dalam pola makan kita, yang semakin rentan terhadap perubahan iklim. Seiring dengan pemanasan global, ketergantungan pada beras bisa berisiko mengancam ketahanan pangan, terutama karena beras adalah tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca ekstrem, seperti kekeringan panjang atau banjir.
Namun, keanekaragaman pangan yang kita miliki seharusnya menjadi solusi, bukan sekadar kekayaan yang terbengkalai. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan mulai menerapkan diversifikasi pangan. Mengonsumsi pangan lokal yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti jagung, ubi, atau singkong, bisa mengurangi ketergantungan kita pada beras. Di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Nusa Tenggara Timur, masyarakat sudah mulai menggantikan nasi dengan jagung, yang lebih cocok ditanam di lahan kering dan lebih tahan terhadap kemarau panjang. Selain itu, konsumsi pangan lokal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan mengurangi kerugian ekonomi yang timbul akibat pemborosan pangan.
Sayangnya, perjalanan menuju diversifikasi pangan tidaklah mudah. Kebiasaan masyarakat yang sudah lama menganggap nasi sebagai makanan pokok harus diubah secara perlahan. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam meningkatkan kesadaran tentang manfaat mengonsumsi pangan lokal yang lebih ramah terhadap lingkungan dan lebih mudah didapat. Di sisi lain, sektor pertanian juga perlu didorong untuk lebih memaksimalkan potensi pangan lokal ini dengan teknologi yang tepat, agar hasil pertanian lebih produktif dan mudah diterima di pasar.
Dalam konteks ketahanan pangan yang berkelanjutan, penting untuk melihat pemborosan pangan sebagai masalah yang harus diselesaikan bersama. Tidak hanya di tingkat rumah tangga atau konsumen, namun juga di sektor distribusi dan penyimpanan pangan, yaitu dalam bentuk kehilangan pangan. Sebagian besar pemborosan makanan justru terjadi pada tahap distribusi dan konsumsi, seperti yang tercatat dalam laporan Bappenas. Peningkatan kesadaran dan pengelolaan yang lebih baik pada tingkat konsumen dan pasar dapat mengurangi kerugian yang sangat besar ini.
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kebijakan dan infrastruktur distribusi pangan di Indonesia. Seringkali, ketidaksempurnaan dalam rantai pasokan menyebabkan banyak makanan rusak atau kadaluarsa sebelum sampai ke konsumen. Hal ini sangat merugikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang seharusnya bisa mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Oleh karena itu, sistem distribusi yang lebih efisien, dengan dukungan teknologi yang tepat, bisa mengurangi pemborosan dan meningkatkan akses pangan yang lebih merata.
Pemerintah pun perlu terus bekerja keras untuk memperbaiki sistem distribusi pangan, memastikan bahwa pangan sampai ke tangan konsumen dengan kualitas terbaik tanpa adanya pemborosan (food loss). Peningkatan infrastruktur penyimpanan dan distribusi pangan menjadi sangat penting untuk mengurangi kehilangan yang terjadi sebelum pangan mencapai meja makan. Sebagai contoh, di beberapa daerah yang rawan bencana, seperti di Nusa Tenggara Timur, penyimpanan pangan yang lebih baik dapat mengurangi kerugian yang terjadi akibat kerusakan pangan saat musim hujan.
Namun, tidak hanya sektor pemerintah dan pertanian yang perlu terlibat dalam solusi ini. Masyarakat juga memiliki peran besar dalam mengurangi pemborosan pangan (food waste). Setiap individu bisa mulai dari rumah dengan membeli pangan secukupnya, mengelola sisa makanan dengan lebih bijak, dan mengonsumsi pangan lokal yang lebih beragam. Misalnya, dengan lebih mengenal dan mengonsumsi produk lokal seperti singkong, jagung, atau ubi—yang sudah lama menjadi bagian dari budaya pangan Indonesia—kita tidak hanya mendukung keberagaman pangan, tetapi juga membantu mengurangi pemborosan (food waste) dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Di sisi lain, untuk mendukung upaya ini, industri pangan dan restoran juga perlu memikirkan cara-cara inovatif untuk mengurangi pemborosan makanan (food waste). Misalnya, restoran bisa mulai menggunakan bahan pangan lokal yang lebih mudah didapatkan dan lebih tahan lama, serta memperkenalkan menu berbasis pangan lokal yang lebih ramah terhadap lingkungan. Selain itu, mereka bisa mengedukasi konsumen untuk lebih bijak dalam memesan makanan, mengurangi porsi yang tidak diperlukan, dan memanfaatkan sisa makanan dengan cara yang lebih berguna.
Jika kita ingin mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, sudah saatnya kita merubah pola pikir dan kebiasaan yang sudah lama tertanam. Tidak cukup hanya dengan meningkatkan produksi atau impor pangan. Kita perlu mengurangi pemborosan (food waste dan food loss) yang terjadi di sepanjang rantai pasokan dan mengoptimalkan potensi pangan lokal yang ada. Mengurangi pemborosan pangan bukan hanya tentang menghemat uang atau mengurangi sampah. Ini juga soal menjaga masa depan ketahanan pangan kita, memerangi kemiskinan, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Maka dari itu, upaya mengatasi pemborosan pangan (food waste dan food loss) harus menjadi prioritas bersama—bukan hanya untuk mencapai kesejahteraan ekonomi, tetapi juga untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang. Tindakan kita hari ini, mulai dari rumah hingga kebijakan pemerintah, akan menentukan apakah kita bisa mewariskan dunia yang lebih baik dengan pangan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.
Diversifikasi pangan
Pada akhirnya, perubahan dimulai dari langkah kecil yang kita ambil setiap hari. Ketahanan pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau petani, tetapi juga setiap individu. Ketika kita mulai lebih sadar dalam mengonsumsi pangan lokal dan mengurangi pemborosan, kita turut menjadi bagian dari solusi. Bukan hanya untuk mengatasi krisis pangan, tetapi juga untuk menjaga bumi tetap sehat bagi generasi mendatang. Misalnya, mengganti sebagian konsumsi nasi dengan jagung atau ubi, selain dapat mengurangi ketergantungan pada beras, juga mendukung keberagaman pangan yang lebih ramah terhadap perubahan iklim.
Dengan langkah-langkah sederhana, kita bisa merasakan dampak positifnya, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk masyarakat luas dan lingkungan. Ketahanan pangan yang beragam dan berkelanjutan adalah kunci untuk mengurangi krisis pangan dan menghindari kerugian besar yang disebabkan oleh pemborosan makanan. Setiap pilihan yang kita buat, sekecil apapun, memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Mari kita mulai, karena setiap tindakan hari ini akan menentukan ketahanan pangan yang lebih kuat dan lebih adil di masa depan.
#kehati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.