16 Desember 2020

Saat Perceraian harus Menjadi Pilihan


Normalkan perceraian. 

Tak semua perceraian itu buruk. 
Malahan, banyak orang yang bercerai mungkin sudah berusaha bertahan dan berbuat yang terbaik untuk memperbaiki rumah tangganya.

Biarkan mereka bercerai.

Bagi mereka yang sudah terlanjur menikah, mungkin sejak awal mereka salah pilih pasangan, mungkin sejak awal mereka kurang bekal dalam mengelola emosi, memahami pasangan dan perbedaan gender, dan bekal-bekal lain. Mungkin pula mereka mengalami trauma/abuse/keluarga yang disfungsi sehingga sadar atau tidak mereka terus terjatuh dalam hubungan yang toksik atau disfungsi.

Bila kamu pikir keluarga yang broken hanya yang bercerai, kamu salah.
Kadang-kadang sebuah keluarga memang tampak utuh tetapi sudah "tak bernyawa".
Dan kalau kamu berpikir janda/duda cerai mati atau keluarga yang tampak utuh sampai salah satu pasangannya meninggal, selalu lebih baik dari janda/duda cerai hidup kamu juga belum tentu benar.

Kalau kamu pernah berada dalam hubungan yang toksik atau abusive, kamu akan tahu bahwa hubungan tersebut sangat mematikan. Artinya, bisa saja pasanganmu yang tertinggal di dunia itu (masih hidup) itu sangat toksik sehingga pasangannya tak kuat lagi dan meninggal.

Tentunya pada hubungan jenis apa pun tak bisa digeneralisir, ada yang benar-benar dalam hubungan sehat dan harmonis hingga maut memisahkan.

Tetapi saya ingin menekankan di sini bahwa andai kamu memang berada dalam hubungan yang toksik, hari demi hari itu sangatlah berat dilalui.

Anak selalu dijadikan alasan. Memangnya anak akan bahagia dalam keluarga yang kacau terus? Memangnya anak nggak akan mengadopsi hubungan disfungsi ortunya sehingga menjadi trauma intergenerasi? 

Normalkan perceraian. 
Lebih baik bercerai daripada:
1. Salah satu atau keduanya selingkuh atau berzina,
2. Poligami karena takut imej buruk di masyarakat, tetapi hanya condong kepada istri baru karena memang hanya kedok untuk lari dari istri lama,
3. Bertengkar tiap hari lalu salah satu atau keduanya terjatuh dalam miras, narkoba, bunuh diri, sakit jiwa, sakit keras atau mati, atau merembet ke urusan lain seperti pekerjaan kacau, bangkrut, dll.

Normalkan perceraian bagi mereka yang sudah terlanjur menikah, lalu bagi orang-orang yang belum menikah bekali mereka dengan lebih baik dan dampingi mereka untuk menyembuhkan trauma-trauma di sepanjang kehidupannya, sehingga ketika menikah nanti mereka bisa membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia.

Ubah fokus kalian dari "Jangan bercerai" menjadi "Bagaimana memilih pasangan, mempersiapkan, dan menjalani pernikahan yang sehat."

Kamu tahu racun? Minum racun sekali aja orang bisa mati kan?
Sama dengan orang yang hidup dalam hubungan toksik, berapa kali dia harus "minum racun" dalam hidupnya? 
Dia sudah "mati berkali-kali" sebelum mati yang sebenarnya.

Tidak semua hubungan bisa diselamatkan atau diperbaiki.
Jika memang bercerai dipandang terpaksa diambil, normalkan saja perceraian.
Lalu ajarkan padanya dan orang-orang lain yang belum menikah agar bisa memiliki hubungan sehat pada pernikahan berikutnya/pernikahan mereka.

Kekerasan (abuse) itu tidak hanya berupa kekerasan fisik dan kamu harus memahami itu. 

Bahkan, ada survivor trauma yang dikondisikan bahwa dipukuli itu wajar karena mereka menerima kalau salah (sebagai hukuman mereka), dicaci maki itu wajar karena merasa dirinya pantas menerimanya.

Tak semua pernikahan bisa diselamatkan dan tak semua perceraian itu buruk.

Lebih baik bercerai terang-terangan daripada pura-pura utuh tetapi sudah bobrok dan minim/tanpa kasih sayang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.