Namanya
Tasia. Lengkapnya adalah Alberta Natasia Adji. Kulitnya putih, matanya sipit,
dan tubuhnya mungil. Dia sibuk mencari-cari buku di ruang itu, sebelum akhirnya
duduk di sebelahku. Hal sama yang kulakukan setelah sadar datang kepagian. Absen
sebentar lalu melihat-lihat koleksi buku di ruang bernama American Corner itu,
sebuah ruangan yang ada di dalam perpustakaan kampus B Universitas Airlangga
(Unair) Surabaya.
Gadis
yang sepertinya chinese itu tersenyum ramah, menenggelamkan matanya menjadi
semakin sipit. Saat tangannya terulur untuk mengajak bersalaman, barulah aku
sadar kalau wajahnya-lah yang terpampang dalam poster pelatihan menulis yang
hendak kuikuti itu. Ya, pada poster itu ada fotonya, alias dialah pembicaranya.
Dasar aku saja yang cuek sehingga tadinya kupikir dia hanya sesama pengunjung
perpustakaan Amcor, sebutan umum untuk American Corner Unair.
Menjelang
acara dimulai, satu demi satu peserta mulai berdatangan. Semuanya masih
berstatus mahasiswa di Airlangga University, hanya aku yang mahasiswa
kadaluarsa, haha ... Becanda, maksudnya hanya aku yang sudah alumni, walaupun aku juga dari Unair sih dulunya. Kebayang
kan kalau aku tua sendiri? Aku mengetahui acara tersebut dari Twitter Event
Surabaya. Rencananya akan berlangsung dalam 4 kali pertemuan setiap Selasa
pekan pertama, yaitu tanggal 6 September, 4 Oktober, 1 November, dan 6 Desember
2016. Aku datang pada pertemuan perdana, tanggal 6 itu. Bagiku, belajar tidak
mengenal umur. Tak elok rasanya jika meremehkan seseorang hanya karena dia
lebih muda. Barangkali memang ada sesuatu yang bisa kupelajari darinya.
Poster pelatihan menulis bersama Tasia
Ketika
waktunya tiba, Tasia mulai menceritakan pengalaman menulisnya. Dia pernah
menulis cerpen, novel, maupun naskah drama. Novelnya berjudul “Youth Adagio”
dan “Dante”. Dua peserta pria dan empat wanita asyik menyimak sambil lesehan,
termasuk aku. Selain kami ada pula mas ganteng penjaga Amcor ikut lesehan di
sana. Sambil mengarahkan Tasia dia juga ikut bertanya, sepertinya berminat juga
untuk menjadi penulis.
Di
sela-sela Tasia menceritakan pengalaman dan tips-tips menulisnya, aku banyak
bertanya. Dibanding peserta lain, aku lebih siap dengan pertanyaan-pertanyaan,
karena aku sudah terjun langsung di dunia penulisan ini (dan memang aku
bermasalah dengannya). Beberapa darinya merupakan pertanyaan dari MOOC luar
negeri yang kuadopsi. Aku penasaran Tasia akan menjawab apa. Siapa tahu menjadi
tambahan ilmu menulis buatku. Setiap orang punya cara yang unik, bukan? Bisa
saja jawaban mereka berbeda.
Semakin
mengenalnya semakin kagum aku pada penulis muda di sebelah kiriku ini. Menurutku,
dia adalah sosok yang terencana, terarah, fokus, disiplin, dan pandai mengatur
waktu. Berbeda denganku yang memilih jalur nonformal, dia sengaja ingin menjadi
penulis dengan menempuh jalur formal, yaitu dengan mengambil jurusan S1 Sastra
Inggris dan S2 Ilmu Budaya Unair. Mungkin, hal tersebut bisa dipahami karena
keluarganya mendukung cita-citanya, walaupun keluarga besarnya tidak. Kalau
keluargaku memang sejak awal tidak mendukung, mustahil bila kutempuh jalur formal
seperti dia. Akan tetapi, bukan hanya itu yang membuatku kagum padanya. Ada hal
lain, yaitu ketika dia bercerita bahwa persentase kegagalan menulisnya itu
sangat kecil. Seingatku, hanya 2 kali kiriman cerpen yang gagal lalu setelahnya
dimuat, begitupun dengan novel, hanya 2 kali penolakan sebelum akhirnya
diterbitkan. Wow, itu prestasi yang sangat hebat! Aku saja tak terhitung berapa
kali mengirim karya dan gagal. Keberhasilan baru kuraih setelah melalui banyak sekali
kegagalan. Rupanya, hal itu terjadi padanya karena adanya perencanaan yang
sangat matang. Walau mengaku belajar secara otodidak, Tasia ini sangat rajin
membaca berbagai buku dan novel tebal atau bahkan ensiklopedi sebagai bahan
riset. Dia punya target baca setiap minggu, juga target menulis. Selain itu,
dia juga suka mengamati gaya bicara atau karakter orang untuk mendukung
ceritanya. Tasia itu pembelajar kreatif. Dia menemukan cara-cara unik yang bisa
berhasil untuk dirinya sendiri. Mungkin, dia juga termasuk pembelajar cepat.
Saya (paling kiri), Tasia (no. 2 dari kiri), dan para peserta pelatihan
Menemukan
Tasia yang sangat terarah seperti itu memberikan suatu kekayaan tersendiri
bagiku. Bagaimana tidak, banyak juga orang yang menyarankan asal dilakukan lalu
belajar sambil jalan. Terjun saja, pokoknya berani. Banyak dari mereka yang
melewatkan langkah perencanaan/persiapan. Hanya bermodalkan keberanian dan kenekatan.
Bisa dilihat kan, dengan persiapan yang sangat baik persentase kegagalan
Tasia berada di posisi hampir nol. Aku belum bisa seperti dia.
Usai
acara, mas ganteng penjaga Amcor membagi-bagikan suvenir kepada seluruh peserta
dan Tasia. Suvenir Tasia berbeda, tak seperti peserta yang mendapat blocknote
dan bolpen. Sebelum meninggalkan Amcor tak lupa aku meminta tolong mas ganteng
untuk mengabadikan kenangan kami.
Aku
merasa sangat beruntung bisa berkenalan dengan Tasia, penulis keren dari
Universitas Airlangga Surabaya. Calon penulis hebat. Insya Allah.