15 Januari 2018

Temuan Ilmiah di Balik Kata “Seandainya”



Temuan Ilmiah di Balik Kata “Seandainya”
Seandainya

Semua orang akan menyesal. Ada yang menyesal mengapa dia tidak berbuat baik (mengapa dia berbuat dosa), ada yang menyesal mengapa tidak berbuat baik lebih banyak, ada yang menyesal karena hal-hal yang dilakukan, ada yang menyesal karena hal-hal yang belum sempat dilakukan (keburu meninggal), ada pula yang menyesal karena hal-hal yang tidak dilakukan (mengapa tidak melakukan sesuatu).

Di dalam Al Quran, Allah banyak menyebut tentang waktu. Di dalam hadits pun juga banyak disinggung. Bahkan, “waktu” akan menjadi salah satu yang akan dihisab nanti di akhirat. Masa mudamu diisi apa dan umurmu dihabiskan untuk apa.

Hingga setelah meninggal pun manusia masih banyak yang akan menyesal. Mereka ingin dikembalikan lagi ke dunia dan memperbaiki hidup. Orang-orang di neraka pun menyesal mengapa berteman dengan setan/iblis. Dan penyesalan-penyesalan lainnya. 

Di dalam sebuah hadits kita diajarkan untuk tidak berandai-andai, alias dilarang mengucapkan kata “seandainya”, karena kata tersebut membuka pintu tipu daya setan. Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan kita untuk bersegera kepada kebaikan dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri; bekerja seolah-olah hidup selamanya dan beribadah seolah-olah akan mati besok; memanfaatkan 5 sebelum 5 (sehat sebelum sakit; kaya sebelum miskin; lapang sebelum sempit; muda sebelum tua; dan hidup sebelum mati). Itu artinya kita akan menjalani hidup secara “penuh”. Hidup kita berarti dan kita pun tidak takut mati. Kita sudah mengisi hidup dengan sebaik-baiknya dan mempersiapkan kematian (hidup sesudah mati) dengan seindah-indahnya.

“Dari semua kata-kata sedih yang pernah diucapkan maupun ditulis, yang paling menyedihkan adalah: Andai saja.” Begitu kata John Greenleaf Whittier, penyair Amerika abad ke-17.

Bila Anda menganggap itu hanya kata-kata penyair, Anda salah. Terdapat pula temuan ilmiah yang mengikutinya. 

John Izzo, berdasarkan pengalamannya selama 30 tahun, mengatakan, penyesalan adalah satu-satunya hal yang paling kita takuti. Yaitu ketika kita tidak menjalani hidup dengan benar. Kita tidak akan menyesali segala risiko yang diambil yang tidak memberikan hasil sesuai harapan. Tidak satu orang pun yang mengatakan bahwa mereka menyesal telah mencoba atau gagal melakukan sesuatu. Meskipun, sebagian besar dari orang-orang tersebut berkata bahwa memang mereka tidak menempuh banyak risiko. Artinya, kemungkinan besar kita akan menyesali hal-hal yang tidak kita coba (Dari sini mungkin Anda akan paham mengapa Allah menilai proses dan bukan hasil. Hasil sendiri merupakan hak prerogatif Allah). 

Masih di dalam buku John Izzo (5 Rahasia yang Harus Anda Temukan Sebelum Meninggal), Paul, 76 tahun, konsultan bisnis, juga berkata: Selama 50 tahun saya bekerja dengan banyak pengambil keputusan. Menurut saya, penyesalan terbesar pada akhir hidup banyak orang tua adalah mereka tidak melakukan sesuatu, menyesal karena tidak memanfaatkan kesempatan yang ada. Manusia menyesali apa yang tidak mereka lakukan, lebih dari apa yang mereka lakukan. Ketakutan terbesar menjelang akhir hidup adalah tidak berani mengambil risiko dan tidak melakukan kesalahan sama sekali. 

Bahkan, dari 200 orang bijak (berusia sekitar 50 tahun ke atas) yang diwawancarai oleh John Izzo (direkomendasikan oleh orang lain), banyak dari mereka yang masih menyesali waktunya. Mereka berkata,”Semuanya begitu cepat berlalu”.

Di Universitas Cornell, Thomas Gilovich sudah mempelajari psikologi penyesalan selama lebih dari satu dekade. Sebagian besar penelitiannya dilakukan dengan meminta responden mengingat kembali kehidupan mereka di masa lalu kemudian menjelaskan hal terbesar yang mereka sesali. sekitar 75 persen responden menyesal karena tidak melakukan sesuatu, dan tiga penyesalan terbesar adalah kurang sungguh-sungguh belajar ketika di sekolah, tidak memanfaatkan peluang yang penting, dan tidak mampu memberikan waktu yang cukup untuk keluarga dan teman. Sebaliknya, hanya 25 persen responden yang menyesal karena melakukan sesuatu, seperti membuat keputusan yang merugikan tentang karier, menikah dengan orang yang tidak dicintai, atau mempunyai anak pada saat yang tidak tepat dalam hidupnya.

Bila masih belum cukup, di dalam buku Kiss That Frog karya Brian Tracy dan Christina Tracy Stein, seorang psikiater yang sudah berpengalaman 25 tahun pun menyampaikan hal serupa. E.B. White, nama psikiater tersebut, berkata kepada wartawan, bahwa kalimat yang sering dia dengar pada masa awal konseling yang emosional adalah “Seandainya”. Sehingga, salah satu rahasia terbesar agar bisa berbahagia adalah menghapus kata “Seandainya” dari perbendaharaan kata Anda.

Mungkin Anda pernah mendengar atau membaca orang dengan penyakit kanker atau lainnya dan divonis umurnya tidak akan lama, tiba-tiba mengubah caranya di dalam memandang hidup. Mereka tiba-tiba melakukan atau berfokus pada hal-hal yang lebih berarti.

Bagi Anda yang muslim, mungkin sudah tidak asing dengan hadits yang menganjurkan untuk beribadah seolah-olah hidup selamanya dan bekerja seolah-olah akan mati besok. Ternyata, John Izzo dan Dr. David Kuhl (seorang dokter dan penulis berbakat), pernah memerintahkan hal serupa kepada audiensnya pada saat seminar, berpura-puralah bahwa 6 bulan dari sekarang Anda akan meninggal. Anda tidak tahu apakah hal baik atau buruk yang ada di sisa hidup tersebut. Lalu tiba-tiba saja ruangan hening, dan para peserta seminar mulai menuliskan apa-apa yang paling berarti di dalam hidupnya.

Di dunia bisnis pun sama. Joel Fotinos dan August Gold di dalam Think and Grow Rich Workbook, mengatakan, pengandaian merupakan salah satu alibi yang terkenal bagi orang-orang yang gagal. Andai saya begini dan begitu, andai saya punya ini dan tidak punya itu, mengalami ini dan tidak mengalami itu, dan semacamnya. Alibi-alibi itu digunakan untuk menjelaskan kegagalan. Padahal, hal itu tidak berguna.

Mulai sekarang, hilangkan kata “Seandainya” dari kamus kehidupan Anda. Selain tidak berguna juga tidak mengubah apapun, tidak membuat keadaan membaik. Lebih baik, fokuslah untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan. Berani mencoba. Karena hidup tanpa penyesalan berarti mengambil risiko lebih banyak.


Sumber gambar: Pixabay