06 Agustus 2014

SEMAKIN TEGAR DALAM TEMPAAN BENCANA


Setiap manusia pasti akan diuji....................
Ujian itu sesuai dengan kesanggupan / kemampuan masing-masing.................. ,
Sesudah kesulitan ada kemudahan....................
Sesudah kesulitan ada kemudahan....................
Sesudah kesulitan ada kemudahan....................
(Yaitu) bagi orang-orang yang berusaha mengubah nasibnya.........................
(karena) Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha mengubah nasibnya sendiri.





Tsunami, nama yang cantik. Namun si cantik ini tak pernah diharapkan kehadirannya, setidaknya hingga saat ini (selagi belum bisa ditemukan pemanfaatannya). Perangainya kurang baik, sangat pemarah. Dia selalu hadir membawa amukan besar, menelan hingga ratusan ribu korban jiwa, merusak segalanya.

Tsunami merupakan gelombang atau serangkaian gelombang yang dibangkitkan secara tiba-tiba oleh perubah vertikal suatu kolom air. Bencana alam ini bisa disebabkan oleh aktivitas seismik, vulkanik, longsor di atas atau di bawah air, jatuhnya asteroid di laut, atau fenomena meteorologi.


Belajar dari Jepang

Kondisi geografis Indonesia yang berada di cincin api membuatnya rentan terhadap gempa bumi, tsunami, maupun letusan gunung berapi. Sayangnya, negara kita kurang bisa belajar dari sejarah; baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman kota atau negara lain. Berbeda dengan Jepang, berada pada 4 lempeng tektonik sekaligus (lempeng Okhots, Urasia, Pasifik, dan lempeng laut Filipina) serta memiliki banyak gunung api membuatnya sering dilanda gempa, tsunami, serta berpotensi gunung meletus dan angin topan.  Bahkan, dari seluruh tsunami besar yang terjadi di dunia, yang terbanyak terjadi di Jepang (hampir sepertiga dari tsunami dunia). Kendati demikian itu tak melemahkan mereka, malah membuat mereka melakukan persiapan dengan lebih matang dan menjadikan mereka sebagai negara dengan sistem peringatan bahaya gempa terbaik di dunia. Artinya, mereka berusaha tidak mengulang kesalahan yang sama. Mereka telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 Masehi. Dan fakta mendukung akan hal itu. Jumlah korban gempa dan tsunami di Jepang terus menurun dari tahun ke tahun. Dengan kekuatan gempa yang serupa dengan Aceh 2004 silam, gempa dan tsunami di Jepang 2011 hanya menimbulkan 13 kali lipat korban jiwa yang lebih sedikit daripada tsunami di Aceh 2004 lalu. Penanganan tsunami dan gempa menjadi perhatian serius di Jepang dan menjadi program nasional.


Belajar dari Thailand

Thailand merupakan salah satu negara yang ikut terkena tsunami 2004 lalu, bahkan termasuk 5 negara terparah terlanda tsunami selain Indonesia, Srilanka, India, dan Maldives. Namun Thailand merespon bencana itu dengan 3 strategi, yaitu (1) SAR dan identifikasi terhadap para korban, (2) Mencegah penyebaran penyakit menular dan jatuhnya korban susulan di antara korban yang selamat, (3) Proses rekonstruksi dan rehabilitasi dalam jangka panjang bagi para korban (UNDP, 2005).

Senada dengan Jepang, pemerintah Thailand sangat serius dalam upaya mengatasi bencana. Thailand memiliki payung hukum kebencanaan yang jelas dan sinergi antara berbagai pihak yang terkait (hubungan struktural antar lembaga). Mereka memiliki payung hukum setingkat Undang-Undang, kerja sama berbagai pihak pun begitu baik: masyarakat luas, sektor swasta, palang merah, LSM/ NGO, korban yang hidup, dan pemerintah. Sebagai upaya pencegahan tsunami Thailand memiliki menara peringatan dini tsunami serta melibatkan masyarakat di daerah rawan bencana tersebut secara aktif dalam proses identifikasi, analisis, tindakan, monitoring, dan evaluasi terhadap resiko terjadinya bencana.

Dengan kesigapan pemerintah Jepang maupun Thailand, kebutuhan dasar korban bisa dipenuhi dalam tempo yang singkat. Dalam tempo 5 hari, kebutuhan dasar korban sudah dipenuhi oleh pemerintah Thailand, sedangkan di Jepang bantuan dari Indonesia untuk mereka bahkan digunakan untuk membuat perpustakaan karena kebutuhan dasar korban di Jepang sudah tercukupi oleh bantuan dari berbagai pihak.


Sebelum, Selama, dan Sesudah Tsunami




Terjadinya tsunami

Secara umum terjadinya tsunami biasanya didahului oleh gempa tektonik atau vulkanik (walaupun tidak semua tsunami disebabkan karena gempa) disertai dengan surutnya air laut secara abnormal dan tiba-tiba, terkadang disertai pula dengan ledakan bom yang memekikkan dari arah laut. Jika Anda menemui hal itu segeralah lari sekencang-kencangnya menuju ke dataran tinggi (minimal 20 meter). Berbagai negara berlomba membuat atau melakukan deteksi dini tsunami agar bisa cepat mengantisipasinya. Alat ini bisa berupa seismograf bawah laut, laser, Tsunami Early Warning System (TEWS), simulator tsunami 3D, dan sebagainya. Beberapa hewan misalnya burung dara, gajah, kelelawar, anjing, macan tutul, harimau, babi hutan, rusa, kerbau air, dan kera sangat peka terhadap perubahan alam termasuk tsunami. Mereka bisa merasakannya melalui mekanisme yang berbeda-beda, spesifik sesuai dengan jenis hewan tersebut. Bisa dari suaranya, medan magnet, perubahan muatan listrik, perubahan polaritas dan konsentrasi ion, dan sebagainya. Hal ini membuatnya gelisah, bertingkah berlebihan, dan menyelamatkan diri ke dataran tinggi begitu merasa tsunami akan datang. Dengan mengamati perilaku mereka atau melibatkan mereka dalam penelitian diharapkan bisa membantu mendeteksi tsunami dengan cepat dan tepat. Intinya adalah meningkatkan kemampuan peramalan tsunami.


Bangunan di Daerah Rawan Tsunami

Tempat-tempat rawan tsunami ataupun yang pernah terlanda tsunami sebaiknya diberi tanda berupa tulisan “daerah rawan tsunami”, tugu, atau penanda lainnya. Daerah yang paling rawan terdampak tsunami adalah bangunan di tepi pantai dan daerah rendah dekat pantai. Bangunan-bangunan ini sebaiknya dibangun di zona aman tsunami, diatur berapa perkiraan jarak aman dari pesisir pantai, dibangun dengan material tahan gempa dengan ketinggian melebihi tinggi tsunami yang pernah terjadi, serta dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Bangunan-bangunan ini harus dibangun dengan riset dan tata ruang yang jelas. Tak ketinggalan pula untuk memperhatikan penegakan hukum agar bangunan yang ada menjadi kokoh dan tidak mudah rusak (karena bahan tidak dikorupsi). Di halaman (di tempat yang mudah dikeluarkan) masing-masing bangunan tersebut sebaiknya diberi sepeda, sebagai alat transportasi di saat gempa/menjelang tsunami. Sedangkan di bagian dalamnya, bangunan-bangunan tersebut harus mempunyai tas atau ransel berisi peralatan dan perlengkapan jika  sewaktu-waktu terjadi gempa atau tsunami. Peralatan atau perlengkapan semacam ini harus bisa didapatkan dengan mudah di toko.  


Prototipe rumah tahan gempa desain TDMRC dan Jurusan Teknik Sipil Unsyiah

Berbicara mengenai bangunan, kabarnya ada beberapa bangunan yang selamat dari tsunami Aceh 2004 lalu. Di antaranya adalah masjid raya Baiturrahman, masjid di daerah Ulelee, masjid di daerah Khaju, masjid Lhoknga, dan makam ratu kerajaan Pasai Nahrisyah. Terlepas dari adanya kemungkinan keajaiban dari bangunan-bangunan tersebut di sisi agama, ada baiknya jika diteliti pula bahan / material, konstruksi, dan semacamnya mengenai bangunan tersebut. Barangkali ada sesuatu yang menarik dan bermanfaat yang bisa didapatkan dari sana. Jika bukan karena bangunannya (fisiknya), berarti mungkin memang ada upaya tambahan berupa kesalehan spiritual yang bisa mencegah kerusakan yang lebih besar dari tsunami (dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pencegahan dampak tsunami yang lain). Artinya, kita tetap membuat detektor tsunami, melakukan simulasi tsunami, dan sebagainya tetapi juga disertai dengan peningkatan iman dan takwa kepada Allah. Dan ini yang paling tepat, mensinergikan segala upaya baik lahir maupun batin.


Mengurangi Kekuatan Tsunami

Untuk mengurangi kekuatan tsunami dan mengurangi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya pemerintah bisa membuat tembok pemecah gelombang di dasar laut yang baru akan dimunculkan ke permukaan laut saat terjadi tsunami. Penghalang berikutnya adalah dinding beton dengan tinggi sekitar 10 meter, disusul dengan membuat hutan pinus atau bakau yang kuat dan cepat tumbuh (atau mencari cara mempercepat pertumbuhan bakau melalui penelitian), lalu membuat bukit buatan yang tinggi dan ditanami pohon besar (seperti terasering—untuk mencegah kerusakan yang lebih besar akibat erosi / longsor) dan di bagian paling akhir / dekat dengan pemukiman penduduk dibangun tembok beton lagi. Hutan buatan ini diharapkan nantinya bisa juga difungsikan sebagai objek wisata.


Pelatihan Kebencanaan dan Persiapan Menyeluruh

Kesiapan masyarakat di dalam menghadapi bencana juga sangat diperlukan. Seringkali datangnya bencana membuat panik dan mengacaukan segalanya. Untuk menghindari hal itu maka perlu adanya sosialisasi dan pelatihan kebencanaan secara rutin di setiap elemen masyarakat, baik pemerintah pusat, daerah, instansi milik pemerintah/swasta, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum dari tingkat tertinggi sampai terendah. Bila perlu materi ini dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Buku petunjuk bencana juga perlu dibagikan kepada masyarakat, lebih baik lagi jika seperti Jepang sekalian saja dibangun perpustakaan. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan masyarakat tahu betul apa yang harus dilakukan, kapan menyelamatkan diri, harus pergi ke mana, di mana tempat evakuasi, dan bagaimana bertahan hidup. Pelatihan ini juga ditujukan untuk menanamkan kesadaran dan sikap sabar sehingga di saat sebelum atau sesudah tsunami tidak terjadi penjarahan barang-barang, dan para korban bisa bersikap sabar dan tertib dalam menanti distribusi logistik.



Simulasi gempa dan tsunami

Pelatihan evakuasi tsunami bisa berbeda antara satu tempat dengan lainnya, bergantung dari situasi tempat evakuasi, kondisi geografis, dan ketersediaan tempat evakuasi. Di saat bencana terjadi juga dibutuhkan tenaga bantu, serta tenaga medis dan peralatan medis yang terlatih, cekatan, dan memadai. Hal itu juga perlu diajarkan dalam pelatihan kebencanaan.

Pencegahan dan penanganan musibah (gempa dan tsunami) membutuhkan anggaran yang besar, namun hal itu mungkin tak sebesar kerusakan yang ditimbulkan tsunami jika kita kurang persiapan. Anggaran ini ditujukan untuk penelitian di bidang bencana, pencegahan bencana, perlakuan saat bencana, dan rehabilitasi pasca bencana. Di antara hal yang layak menjadi perhatian adalah prediksi waktu terjadinya gempa, kekuatan gempa, jangkauan gempa, faktor risiko cedera / kematian jika berada dalam bangunan berbahan kayu / batu / lainnya, risiko tertimpa material, tertusuk / tertancap, terkubur, terjepit, tenggelam, terseret arus, ketinggian bangunan, terganggunya arus komunikasi dan perhubungan, terganggunya sistem perekonomian, risiko kesulitan pangan dan obat-obatan, penanganan khusus terhadap anak-anak, lansia, orang sakit, wanita hamil, orang cacat, masalah lingkungan pasca tsunami, distribusi pangan, dapur umum, penempatan pengungsi, dan sebagainya. Kita juga perlu mendata (memprediksi dan belajar dari pengalaman masa lalu diri sendiri maupun kota atau negara lain) kebutuhan di saat musibah datang, sehingga bantuan yang datang sesuai dengan yang dibutuhkan / diharapkan. Semakin jelas gambaran kita tentang tsunami, semakin baik persiapan kita.


Saat Tsunami Tiba

Begitu tsunami terdeteksi, bunyi sirine atau pengeras suara tanda bahaya akan terdengar. Karena sudah dilatih, maka penduduk tidak akan terlalu panik. Mereka akan menuju jalur evakuasi. Namun sebelumnya mereka akan memastikan bahwa rumah dalam keadaan aman dari bahaya listrik, kebakaran, kecurian, dan sebagainya. Sebagai pendukung, para peneliti di laboratorium penelitian Toshiba di Bristol juga sedang mengembangkan HP GSM yang mengeluarkan nada keras/alarm di 15 menit awal terjadinya bencana, sehingga memudahkan tim SAR untuk mengevakuasi keberadaan korban.


Pasca Tsunami

Pasca tsunami akan didapati kerusakan di mana-mana. Kekurangan makanan dan masalah perekonomian mungkin akan terjadi. Suatu sistem pertanian khusus dan suatu sistem penyimpanan makanan / stok makanan dibutuhkan untuk mengatasinya. Hal ini untuk menghindari kesulitan akses makanan ke luar akibat sarana dan prasarana terputus / terbatas ataupun akibat kerusakan area pertanian, pusat penjualan makanan, kesulitan bahan makanan, dan sebagainya. Sistem semacam ini dibuat di zona aman tsunami yang merupakan daerah terdekat dengan zona tsunami terjauh (prediksi). Jadi, ketika dibutuhkan bangunan itu tidak terlalu jauh dari daerah terdampak tsunami (mudah diakses).


Kerjasama berbagai pihak

Pemerintah Indonesia perlu segera membentuk Undang-Undang kebencanaan dan membuat payung hukum yang jelas mulai dari pusat hingga daerah. Masyarakat, instansi, organisasi, LSM, pun perlu dilibatkan secara aktif dalam segala program yang direncanakan. Tak ketinggalan pula kerjasama dengan dunia internasional, dalam bentuk studi banding, pemberian bantuan, riset, pembelian alat-alat canggih, dan sebagainya.


Menanam mangrove


Pasca bencana banyak hal yang perlu dipulihkan. Penyelamatan korban, pencegahan korban dari penyakit atau kematian, pemulihan psikis, rehabilitasi alam dan lingkungan, penanganan polusi, rehabilitasi mata pencaharian penduduk, pemulihan infrastruktur dan ekonomi, dan sebagainya. Masyarakat dan berbagai pihak juga tetap dilibatkan dalam segala kegiatan pasca tsunami ini. Kegiatannya bisa berupa menanam kembali pepohonan di dekat pantai yang rusak, membantu menolong korban yang lebih parah, membantu bagian dapur umum, membantu evakuasi, membantu perbaikan bangunan, atau lainnya. Semangat gotong-royong tetap perlu dikedepankan.

Bentuk lain dari perhatian pemerintah pasca tsunami adalah berupa kompensasi terhadap keluarga korban sesuai dengan tingkat musibah yang dialaminya (misalnya: kehilangan kepala keluarga, kehilangan mata pencaharian, sakit / luka berat, luka ringan, dan sebagainya).


Jurnalisme Positif

Belajar dari Jepang, peran media juga sangat menentukan. Media di Jepang menggunakan bahasa positif, menonjolkan kebersamaan dan ketangguhan, serta tidak cengeng sehingga tidak membuat panik dan bisa menimbulkan kesan baik bagi dunia luar (image positif). Tidak ada hal-hal cengeng, foto yang sangat ekstrim dan mencekam, liputan orang histeris, kepanikan, hujatan, atau terhadap pemerintah yang diliput. Yang terjadi di Indonesia seringkali malah sebaliknya, sehingga kita perlu mengubah wajah jurnalisme kita menjadi lebih positif, menenangkan, dan baik. Tidak menonjolkan mayat bergelimpangan, adegan-adegan memilukan, histeria, dan semacamnya. Gambaran sebenarnya mengenai daerah terdampak tidak perlu dipaparkan kepada seluruh masyarakat, cukup diketahui secara tertutup oleh pihak-pihak yang kompeten di bidangnya (untuk tujuan perbaikan). Gambaran negatif sendiri tentunya sangat merusak mental / mindset masyarakat, sehingga perlu dihilangkan.


Membiasakan hidup positif

Jika Jepang bisa semakin tegar dalam tempaan bencana, Indonesia pun harus bisa. Belajar dari masa lalu, belajar dari pengalaman kota lain, belajar dari pengalaman negara lain membuat kita bisa berdamai dengan bencana. Insyaa Allah.


Sumber:

Http://www.kamusilmiah.com/
Http://bandung-disaster-study-group.blogspot.com/2013/03/sistem-peringatan-dini-tsunami.html    
Http://technology-campuran.blogspot.com/2010/02/tanda-awal-bencana-tsunami-cara.html
Http://kangridwan.wordpress.com/2011/05/12/shippaigaku-jepang-inspirasi-penanganan-bencana-nasional/